Tampilkan postingan dengan label Psikiatri - Napza. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikiatri - Napza. Tampilkan semua postingan

Minggu, 11 September 2011

Erotomania, Gangguan Jiwa Khayalan Tingkat Tinggi

Erotomania atau biasa dikenal dengan sebutan de Clerambault’s syndrome merupakan suatu bentuk gangguan kepribadian dimana para penderitanya memiliki keyakinan yang merupakan waham bahwasannya ada seseorang, biasanya yang memiliki status sosial lebih tinggi (selebritis, bintang rock, orang terkenal, wanita sosialita, bos, dll), memendam perasaan cinta kepada si penderita, atau mungkin memiliki suatu bentuk hubungan intim. Gangguan kepribadian ini rata-rata penderitanya adalah kaum pria.

Erotomania adalah gangguan delusi di mana individu meyakini bahwa ia dicintai oleh orang lain, biasanya seseorang yang terkenal atau memiliki status sosial yang tinggi. Pada kenyataannya, individu hanya memiliki hubungan yang sekedarnya, atau bahkan tidak memiliki hubungan dengan orang yang ia katakan mencintainya.

Erotomania dianggap lebih banyak terjadi pada perempuan, namun tak jarang terjadi pada laki-laki. Laki-laki cenderung lebih berpotensi daripada wanita untuk mengancam atau melakukan tindakan kekerasan dalam upaya mengejar objek dari hasrat mereka yang tidak terbalas. Pengobatan anti psikotik mungkin mengurangi erotomania namun tampaknya tidak dapat menghilangkannya. Demikian juga tidak terdapat bukti bahwa psikoterapi membantu orang dalam erotomania. Sehingga prognosisnya cenderung suram. Para ahli kesehatan mental juga perlu juga untuk menyadari potensi kekerasan dalam menangani orang-orang yang menunjukan gangguan delusi semacam ini.

Pertama kali ditelaah oleh psikiater asal perancis yang bernama Gaetan Gatian Clerambault, yang menyusun sebuah makalah yang membahas tentang gangguan kepribadian macam ini pada tahun 1921. Walau referensi awal yang sejenis dengan gangguan ini telah ada dalam tulisan Hipokrates, Erasistratus, Plutark, dan Galen. Dalam dunia psikiatri sendiri referensi sejenis ini telah ada pertama kali dalam tahun 1623 dalam sebuah risalah berjudul Maladie d’amour ou melancolie erotique yang ditulis oleh Jacques Ferrand, dan juga disebut sebagai “old maid’s psychosis”, “erotic mania” dan “erotic self-referent delusions” sampai kemasa sekarang dimana disebut sebagai bentuk dari Erotomania atau de Clerambault’s Syndrome.

Inti utama dari bentuk sindrom ini adalah si penderita memiliki suatu waham atau delusi keyakinan bahwa ada orang lain, yang biasanya memiliki status sosial yang lebih tinggi, secara sembunyi-sembunyi memendam perasaan cinta kepadanya. Para penderita selalu yakin bahwa subjek dari delusi mereka secara rahasia menyatakan cinta mereka dengan isyarat halus seperti bahasa tubuh, pengaturan perabot rumah, atau dengan cara lain yang kemungkinan tidaklah mungkin (jika yang menjadi sasaran adalah seorang public figure maka akan diartikan secara salah oleh penderita, terhadap sesuatu yang tertulis dalam media massa tentang orang tersebut). Sering kali orang yang menjadi objek dalam delusi, hanya memiliki sedikit sekali hubungan atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan sang penderita. 


Walau demikian sang penderita tetap percaya bahwa sang objek-lah yang memulai semua hubungan khayal itu. Delusi Erotomania sering ditemukan dalam sebuah gejala awal dari sebuah gangguan delusional atau dalam konteks Skizofrenia.

Terkadang subjek yang berada dalam delusi tidaklah pernah ada dalam dunia nyata, nemun yang lebih sering terjadi, subjek adalah publik figur seperti penyanyi terkenal, aktor, aktris, politikus, selebritis dll. Erotomania juga disebut-sebut sebagai suatu penyebab perilaku Stalking yaitu suatu bentuk perilaku memperhatikan orang lain tanpa sepengetahuan orang yang diperhatikan, lalu perlahan melakukan suatu upaya pendekatan yang bersifat mengganggu, biasanya dengan obsesi bahwa korban adalah orang yang perlu ditolong atau bahkan dimusnahkan. Selain itu Erotomania juga disebut sebagai penyebab dari bentuk suatu tindakan yang mengganggu orang lain.

Percobaan pembunuhan terhadap Mantan Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan oleh John Hinckley, Jr. dilaporkan telah diakibatkan oleh erotomania yang diderita Hinckley, yang merasa bahwa artis Jodie Foster akan membeberkan kepada publik bahwa ia cinta kepadanya setelah ia membunuh sang presiden. Hinckley sendiri terbebas dari jeratan hukum karena didiagnosa memiliki gangguan jiwa (skizofrenia).

Berikut adalah daftar beberapa artis yang menjadi korban dari gangguan kepribadian ini :
1. Linda Ronstadt
2. David Letterman
3. Madonna
4. Barbara Mandrell
5. Ronald Reagan
6. Steven Spielberg

  





Sumber Referensi :
- Jeffrey S. Nevid dkk., Psikologi Abnormal (Jakarta: Erlangga, 2005) edisi kelima/jilid 2
- http://www.helium.com

Senin, 11 April 2011

Narsis Termasuk Gangguan Kepribadian

 Narsis

Pernahkah Anda narsis?  Di hadapan teman-teman Anda mungkin, atau sang pacar barangkali? Sekedar sharing ilmu saja.

Narsis  ternyata juga masuk dalam gangguan kepribadian. Tepatnya gangguan kepribadian narsistik . Anda boleh tidak percaya dan barang kali, memang perlu sebuah bukti ilmiahnya.

Bagi orang psikologi, pasti tidak asing lagi dengan yang namanya Buku pegangan PPDGJ dan DSM IV-TR. Dalam buku tersebut dijelaskan, adanya aksis II yaitu gangguan kepribadian. Diantara sekian macam gangguan kepribadian, ternyata terdapat satu gangguan yang mungkin seseorang tidak menyadari akan adanya gangguan tersebut dalam dirinya. Yaitu narcissistic personality disorder (Gangguan Kepribadian Narsistik).

Dalam buku Essentials Abnormal Psychology karya V. Mark Durand dan David H. Barlow, dijelaskan bahwa gangguan kepribadian narsistik adalah gangguan yang melibatkan pola pervasive dari grandiosities dalam fantasi atau perilaku; membutuhkan pujian dan kurang memiliki empati.

Orang-orang yang menilai “tinggi” dirinya sendiri – bahkan melebih-lebihkan kemampuan riil mereka dan menganggap dirinya berbeda dengan orang lain, serta pantas menerima perlakuan khusus, merupakan perilaku yang sangat ekstrem.

Dalam mitologi Yunani, Narcissus adalah seorang pemuda yang menolak cinta Echo dan sangat terpesona dengan keelokannya sendiri. Ia menghabiskan waktunya untuk mengagumi bayangan dirinya yang tercermin di danau. Para psikoanalis, termasuk Freud, menggunakan istilah narcissistic untuk mendeskripsikan orang-orang yang menunjukkan bahwa dirinya orang penting secara berlebih-lebihan dan yang terokupasi dengan keinginan mendapatkan perhatian (Cooper dan Ronningstam, 1992).

- Deskripsi Klinis
Penderita gangguan kepribadian narsistik memiliki perasaan yang tidak masuk akal bahwa dirinya orang penting dan sangat terokupasi dengan dirinya sendiri sehingga mereka tidak memiliki sensivitas dan tidak memiliki perasaan iba terhadap orang lain (Gunderson, Ronningstam, dan Smith, 1995). Mereka membutuhkan dan mengharapkan perhatian khusus. Mereka juga cenderung memanfaatkan dan mengeksploitasi orang lain bagi kepentingannya sendiri serta hanya sedikit menunjukkan sedikit empati. Ketika dihadapkan pada orang lain yang sukses, mereka bisa merasa sangat iri hati dan arogan. Dan karena mereka sering tidak mampu mewujudakan harapan-harapannya sendiri, mereka sering merasa depresi.

Menurut DSM IV-TR, kriteria gangguan kepribadian narsistik yaitu, pandangan yang dibesar-besarkan mengenai pentingnya diri sendiri, arogansi, terfokus pada keberhasilan, kecerdasan, kecantikan diri, kebutuhan ekstrem untuk dipuja, perasaan kuat bahwa mereka berhak mendapatkan segala sesuatu, kecenderungan memanfaatkan orang lain, dan iri kepada orang lain.

Ciri-ciri penderita narsis :
  • Ditandai dengan perilaku yang emosional dan dramatis, dan dapat juga dikategorikan ke dalam penyimpangan perilaku yang antisosial.
  • Memiliki perasaan bangga yang berlebihan tentang kehebatan atau keunikan dirinya, misalnya membanggakan kemampuannya, kecantikan atau bakatnya secara berlebihan.
  • Melebih-lebihkan prestasi yang dicapainya atau memusatkan perhatian berlebihan pada permasalahannya.
  • Hanya berfokus pada fantasi tentang sukses, kekuatan, kecemerlangan, kecantikan atau mendapatkan cinta dari pasangan ideal.
  • Selalu membutuhkan dan mengharapkan perhatian dan pujian secara terus-menerus.
  • Dalam merespons kritik atau kekalahan dapat berupa reaksi marah berlebihan.
  • Orang narsis memiliki keyakinan bahwa dialah orang yang lebih baik dan istimewa daripada orang lain.
  • Tidak bisa memahami emosi dan perasaan orang lain
  • Mengharapkan orang lain untuk selalu setuju dengan segala ide dan rencananya
  • Suka mengambil keuntungan dari orang lain
  • Mengekspresikan penghinaan kepada orang-orang yang dianggapnya lebih rendah
  • Suka cemburu terhadap orang lain
  • Memiliki keyakinan bahwa orang lain selalu cemburu terhadap dirinya
  • Sulit menjaga hubungan yang baik dan sehat
  • Membuat tujuan-tujuan yang seringkali tidak masuk akal
  • Menjadi mudah terluka dan ditolak
  • Memiliki rasa pengharagaan terhadap diri sendiri yang rapuh dan lemah
  • Terlihat seperti orang yang keras hati dan emosional
  • Memiliki sifat yang congkak, angkuh dan sombong
  • Bisa menjadi sangat marah dan tidak sabar bila tidak mendapatkan perlakuan yang istimewa dari seseorang yang diharapkan
  • Memaksakan untuk memiliki segala sesuatu yang terbaik
  • Memiliki perasaan malu dan terhina, dan agar bisa merasa lebih baik, maka akan bereaksi dengan marah, menghina atau meremehkan orang lain.
Dari ciri-ciri tersebut, karakter narsis sekilas terlihat mirip seperti karakter orang dengan rasa percaya diri yang kuat. Padahal hal tersebut tidak lah sama. Orang narsis memang memiliki rasa percaya diri yang kuat, namun rasa percaya diri tersebut adalah rasa percaya diri yang tidak sehat, karena hanya memandang dirinya lah yang paling hebat dari orang lain. Di sisi lain, orang dengan rasa percaya diri yang sehat tidak mengagung-agungkan dirinya saja, namun juga bisa menghargai orang lain.


- Penyebab dan Penanganan
Beberapa penulis, termasuk Kohut (1971, 1977), percaya bahwa gangguan kepribadian narsistik muncul dari kegagalan meniru empati dari orang tua pada masa perkembangan awal anak. Akibatnya, anak tetap terfiksasi di tahap perkembangan grandiose. Selain itu, anak (dan kelak setelah dewasa) menjadi terlibat dalam pencarian, yang tak berkunjung dan tanpa hasil, figure ideal yang dianggapnya dapat memenuhi kebutuhan empatiknya, yang tak pernah terpenuhi.

Treatment research sangat terbatas, baik dalam hal jumlah studi maupun laporan tentang kesuksesannya (Groopman dan Cooper, 2001). Bila terapi dicobakan pada individu-individu ini, terapi itu sering kali difokuskan pada grandiositas, hipersensivitas terhadap evaluasi orang lain, dan kekurangan empati terhadap orang lain (Beck dan Freeman, 1990). Terapi kognitif diarahkan pada usaha mengganti fantasi mereka dengan focus pada pengalaman sehari-hari yang menyenangkan, yang memang benar-benar dapat dicapai. Strategi coping seperti latihan relaksasi digunakan untuk membantu mereka mengahadapi dan menerima kritik. Membantu mereka untuk memfokuskan perasaannya terhadap orang lain juga menjadi tujuannya. Karena penderita gangguan ini rentan mengalami episode-episode depresif, terutama pada usia pertengahan, penanganan sering dimulai untuk mengatasi depresinya. Tetapi, mustahil untuk menarik kesimpulan tentang dampak penanganan semacam itu pada gangguan kepribadian narsistik yang sesungguhnya.


Sumber Referensi :
- Anonim. 2009. Handout Psikologi : Gangguan Kepribadian. Yogyakarta: Tidak diterbitkan
- Durand, V. Mark dan David H. Barlow. 2006. Essentials Abnormal Psychology. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
- Kartono, Dr. Kartini dan Dali Gulo.2003. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya
- Muslim, Dr. Rusdi Editor. 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta: Tidak Ada Penerbit
- http://informasitips.com/kenali-lebih-jauh-ciri-ciri-penderita-narsis


Selasa, 05 April 2011

Pedofilia

 Pedofilia

1. Definisi Pedofilia
Pedofilia terdiri dari dua suku kata; pedo (anak) dan filia (cinta).  Pedofilia adalah kecenderungan seseorang yang telah dewasa baik pria maupun wanita untuk melakukan aktivitas seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual dengan anak-anak kecil. Bahkan terkadang melibatkan anak dibawah umur. 

Pedofilia adalah paraphilia yang melibatkan ketertarikan abnormal terhadap anak-anak. Paraphilia sendiri berarti gangguan yang dicirikan oleh dorongan seksual yang intens berulang, serta fantasi seksual yang umumnya melibatkan: objek bukan manusia; penderitaan atau penghinaan terhadap diri sendiri atau pasangan; atau hewan dan anak-anak.

Pedofilia juga merupakan gangguan psikoseksual, yang mana fantasi atau tindakan seksual dengan anak-anak prapubertas merupakan cara yang untuk mencapai gairah dan kepuasan seksual. Perilaku ini mungkin diarahkan terhadap anak-anak berjenis kelamin sama atau berbeda dengan pelaku.

Beberapa pedofil tertarik pada anak laki-laki maupun perempuan. Sebagian pedofil ada yang hanya tertarik pada anak-anak, tapi ada pula yang juga tertarik dengan orang dewasa dan anak-anak. 

Kebanyakan pakar kesehatan mental membatasi definisi pedofilia sebagai aktivitas seksual dengan anak-anak praremaja, yang umumnya berusia 13 tahun atau lebih muda.

Beberapa pedofil membatasi perilaku mereka dengan mengekspos diri atau bermasturbasi di depan anak, atau mencumbu dan membuka baju anak, tapi tanpa kontak kelamin. Namun, ada pula pedofil yang memaksa anak melakukan seks oral atau berhubungan intim.

Sebagian ahli menganggap pedofilia timbul karena faktor psikososial daripada karakteristik biologi. Sebagian orang berpendapat pedofilia timbul akibat pelecehan seksual yang dialami seseorang ketika kecil. Sementara itu, ada juga yang berpikir perilaku itu berasal dari interaksi pelaku dengan orang tua selama tahun-tahun awal kehidupannya.

Beberapa peneliti mengungkapkan, seorang pedofil mengalami perkembangan emosional yang tertahan. Mereka tidak pernah dewasa secara psikologis sehingga lebih tertarik terhadap anak-anak. Pedofilia juga dipercaya timbul akibat kebutuhan untuk mendominasi pasangan. Karena anak-anak bertubuh lebih kecil dan biasanya lebih lemah dibandingkan orang dewasa, mereka dapat dianggap sebagai mitra potensial yang tidak mengancam.  

Kebanyakan penderita pedofilia menjadi korban pelecehan seksual pada masa kanak-kanak. Anak-anak yang terlibat dalam pedofilia, 2 - 3 diantaranya dalam aktivitas seksual tersebut bersifat koperatif terhadap orang dewasa yang sama maupun bukan. Meskipun demikian sikap koperatif anak-anak ini lebih dikarenakan perasaan takut dibanding ketertarikan terhadap seks itu sendiri.

Aktivitas seks yang dilakukan oleh penderita pedofilia sangat bervariasi. Aktifitas tersebut meliputi tindakan menelanjangi anak, memamerkan tubuh mereka pada anak, melakukan masturbasi dengan anak, dan bersenggama dengan anak. Jenis aktivitas seksual lain yang dilakukan juga bervariasi tingkatannya, termasuk stimulasi oral pada anak, penetrasi pada mulut anak, vagina ataupun anus dengan jari, benda asing, atau alat kelamin laki-laki. Orang dengan pedofilia seringkali merasionalisasikan dan beralasan bahwa perilakunya merupakan hal sifatnya mendidik, dan anak-anak tersebut juga mendapat kepuasan seksual, atau anak-anak itu sendiri yang menggoda

2. Penyebab Pedofilia
Penyebab dari pedofilia belum diketahui secara pasti. Namun pedofilia seringkali menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama dewasa atau adanya ketakutan wanita untuk menjalin hubungan dengan sesama dewasa. Jadi bisa dikatakan sebagai suatu kompensasi dari penyaluran nafsu seksual yang tidak dapat disalurkan pada orang dewasa.
3. Ciri - Ciri Pedofilia
Seorang pedofil sering tampak sangat menarik bagi anak-anak yang menjadi korban potensialnya. Mereka sering menawarkan jasa sukarela ke berbaai organisasi yang melayani atau memungkinkan untuk berdekatan dengan anak-anak muda.

Dalam beberapa kasus, pedofil bisa saja orang dekat yang menawarkan diri untuk mengasuh anak-anak yang termasuk dalam keluarga besarnya. Seorang pedofil biasanya memiliki kemampuan interpersonal yang baik dengan anak-anak, dan dapat dengan mudah mendapatkan kepercayaan anak-anak.

Beberapa pedofilia kerap melemparkan alasan dan menyalahkan anak-anak atas tindakan amoral yang dilakukannya. Mereka mungkin menyalahkan anak-anak karena terlalu menarik atau provokatif secara seksual.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, sejumlah kriteria berikut ini dapat diterapkan untuk mendiagnosis pedofilia :


1. Selama periode setidaknya enam bulan, seorang pedofil mengalami kebangkitan fantasi seksual berulang dan intens, dorongan seksual atau perilaku aktual yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak praremaja atau anak-anak berusia 13 tahun atau lebih muda.

2. Fantasi, dorongan seksual atau perilaku tersebut menyebabkan tekanan yang signifikan atau penurunan di bidang sosial, pekerjaan, atau bidang-bidang penting dalam fungsi sehari-hari lainnya.

3. Orang yang dikategorikan sebagai pedofil setidaknya berusia enam belas tahun dan minimal lima tahun lebih tua daripada anak atau anak-anak yang menjadi objek atau sasaran minat atau kegiatan seksualnya.

4. Diagnosis pedofilia tidak dapat diterapkan pada individu di masa remaja akhir (usia 17-19) yang terlibat dalam hubungan seksual dengan individu berusia 12-13 tahun. 

4. Pengaruh Terhadap Anak - Anak
Anak sebagai korban dalam kasus pedofilia, secara jangka pendek dan jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan fisik dan mental. Gangguan fisik yang terjadi adalah resiko gangguan kesehatan. Saat melakukan hubungan kelaminpun seringkali masih belum bersifat sempurna karena organ vital dan perkembangan hormonal pada anak belum sesempurna orang dewasa. Bila dipaksakan berhubungan suami istri akan merupakan siksaan yang luar biasa, apalagi seringkali dibawah paksaan dan ancaman. Belum lagi bahaya penularan penyakit kelamin maupun HIV dan AIDS, karena penderita pedofilia kerap disertai gonta ganti pasangan atau korban. Bahaya lain yang mengancam, apabila terjadi kehamilan. Beberapa penelitian menunjukkan perempuan yang menikah dibawah umur 20 th beresiko terkena kanker leher rahim. Pada usia anak atau remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker.

Usia anak yang sedang tumbuh dan berkembang seharusnya memerlukan stimulasi asah, asih dan asuh yang berkualitas dan berkesinambungan. Bila periode anak mendapatkan trauma sebagai korban pedofilia dapat dibayangkan akibat yang bisa terjadi. Perkembangan moral, jiwa dan mental pada anak korban pedofila terganggu sangat bervariasi. Tergantung lama dan berat ringan trauma itu terjadi. Bila kejadian tersebut disertai paksaan dan kekerasan maka tingkat trauma yang ditimbulkan lebih berat. Trauma psikis tersebut sampai usia dewasa akan sulit dihilangkan. Dalam keadaan tertentu yang cukup berat bahkan dapat menimbulkan gangguan kejiwaan dan berbagai kelainan patologis lainnya yang tidak ringan. Dalam keadaan ini pendekatan terapi sejak dini mungkin harus segera dilakukan. Secara sosial, baik lingkungan keluarga atau lingkungan kehidupan anak kadang merasa diasingkan dengan anak sebaya dan sepermainan. Beban ini dapat memberat trauma yang sudah ada sebelumnya.

5. Tindakan Pencegahan
Metode utama untuk mencegah pedofilia adalah menghindari situasi yang dapat memicu tindak pedofil. Jangan meninggalkan anak-anak sendirian dengan orang dewasa lain, kecuali orang tua atau anggota keluarga yang dapat dipercaya.

Anak-anak harus diajarkan untuk berteriak atau berlari jika mereka dihadapkan dengan situasi yang tidak nyaman. Mereka juga harus diajarkan bahwa mereka diharapkan berteriak atau memanggil bantuan dalam situasi seperti itu.

Cara lain untuk mencegah pedofilia adalah lewat pendidikan. Anak-anak harus diajarkan untuk mencegah situasi yang membuat mereka rawan terhadap pedofilia. Orang dewasa yang bekerja dengan kaum muda harus diajarkan untuk menghindari situasi yang dapat ditafsirkan sebagai pedofilia.   



Sumber Referensi :
- http://www.mediaindonesia.com/mediaperempuan/index.php/read/2010/05/05/3127/7/Deteksi-Dini-Pelaku-Pedofilia
- http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=11499
- http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20071125033713AAH3wFg



Selasa, 08 Maret 2011

Mutilasi

1. Definisi
Mutilasi menurut ilmu kriminologi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggotatubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar. 
Mutilasi adalah aksi yang menyebabkan satu atau beberapa bagian tubuh (manusia) tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Beberapa contoh mutilasi misalnya amputasi, pembakaran, atau flagelasi. Dalam beberapa kasus, mulitasi juga dapat berarti memotong-motong tubuh mayat manusia.

Pelaku mutilasi adalah orang normal yang melakukan pembunuhan disertai tindakan memisahkan tubuh pembunuhan disertai tindakan memisahkan tubuh korban dengan kesadaran dan latar belakang emosinya. 
Salah Satu Mayat Korban Mutilasi (Wajo, 07/03/2011)

2. Tujuan
Adapun tujuan pembunuhan mutilasi adalah menghilangkan identitas korban sehingga identitas korban sulit dilacak, apalagi pelakunya. Menghilangkan identitas dengan cara memotong-motong tubuh juga mencerminkan kepanikan pelaku. Usai melakukan pembunuhan, pelaku biasanya panik dan mencari jalan pintas untuk menyelamatkan diri. pelaku pembunuhan mutilasi juga umumnya seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan apalagi jika pelaku berpikir untuk menghilangkan kepala, jari, dan tulang adalah cara pelaku untuk mempersulit penyelidikan. Jika organ-organ penting untuk identifikasi hilang, uji DNA (deoxyribonucleic acid) menjadi satu-satunya cara. Tapi itu bukan hal mudah, sebab uji DNA baru bisa dilakukan jika ada pembanding. ada dua kemungkinan orang melakukan mutilasi. Pertama, pelaku khawatir dirinya akan ditangkap bila meninggalkan korbannya secara utuh. Mereka berpikir bila meninggalkan jejak, terungkapnya kasus tersebut akan sangat tinggi.
Karena itu, untuk menghilangkan jejak, pelaku dengan sengaja melakukan mutilasi dengan harapan orang lain akan sulit mencari jejak korban maupun pelaku. Kedua, terlalu rapatnya beberapa kasus mutilasi yang terjadi akhir-akhir ini membuat para pelaku mengadopsi tayangan televisi atau media lainnya. Dengan demikian, para pelaku mengambil referensi dari berbagai ragam media massa,baik cetak maupun elektronik, yang tersebar di seluruh pelosok kota. Namun, kemungkinan yang paling besar adalah para pelaku panik dengan tindakan yang dilakukannya. Kemudian, mereka ingin aksi itu tidak diketahui banyak orang sehingga memutilasi korbannya.
 
3. Faktor Penyebabnya
a. Tayangan TV
b. Faktor pribadi
c. Lingkungan dan Tekanan Ekonomi
d. Kecerdasan emosional
e. Tingkat pendidikan yang rendah 
 
Penghargaan sosial yang kian menurun telah membentuk watak-watak keras,sehingga mengakibatkan perilaku
sadisme. Penghargaan yang kurang ini juga akan mengakibatkan dendam sosial. Akibatnya akan terjadi penetrasi, kurangnya kontrol sosial, dan moral, sehingga menjadikan masyarakat begitu mudah melakukan pembunuhan mutilasi.  
Beberapa penyebab terjadinya mutilasi disebabkan oleh kecelakaan, bisa juga merupakan faktor kesengajaan atau motif untuk melakukan tindakan jahat (kriminal), dan bisa juga oleh faktor lain-lain seperti sunat.

4. Praktik Mutilasi (Kebudayaan)
Beberapa kebudayaan mengizinkan dilakukannya mutilasi. Misalnya di Cina, ada budaya mengikat kaki seorang anak perempuan. Ikatan tersebut tidak boleh dilepaskan hingga ia tua, dengan demikian kakinya akan tetap kecil. Kaki kecil (khusus wanita) di Cina melambangkan kecantikan. Dalam kebudayaan Islam, mutilasi diberlakukan bagi mereka yang terbukti mencuri, biasanya berupa amputasi pada tangan atau lengan. Namun bila terdakwa memiliki alasan kuat untuk mencuri (misalnya dalam kondisi sangat kelaparan), maka hukuman tersebut dapat dihindarkan.

5. Upaya Mengatasi
Hukum dinegara kita harus menjatuhkan hukuman yang berat bagi tersangka. Kecenderungannya untuk kembali melakukan tindak kejahatan besar. Karena itu, perlu penanganan hukum yang serius bagi tersangka.Kecenderungan anak yang menjadi korban kejahatan hingga pembunuhan adalah biasanya anak-anak yang tidak memiliki jaminan sosial seperti anak jalanan. Ada tiga aspek yang menyebabkan anak jalanan rentan menjadi korban kejahatan. Pertama, sebagian besar mereka tidak mendapatkan pengawasan yang baik dari orang tua mereka. Kedua, dorongan kondisi ekonomi yang memaksa mereka untuk bergantung pada orang lain. Ada ketergantungan kebutuhan ekonomi anak terhadap orang lain, karena tidak mereka peroleh dari orang tua, Sedangkan aspek ketiga adalah faktor lingkungan yang cenderung kurang peduli dengan kondisi yang menimpa anak-anak tersebut. Untuk mencegah terjadinya hal yang sama, Hendaknya pihak orang tua harus meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak mereka. Karena itu, peran serta pemerintah menjadi sangat penting.
Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak jalanan, tanggung jawab Negara karena hal ini merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 untuk memelihara anak-anak jalanan agar tidak dieksploitasi atau bahkan dibunuh dan dimutilasi serta dibutuhkan sosialisasi ajaran agama dalam penanaman kesadaran keluarga tentang perlunya keharmonisan kehidupan sosial secara intensif dari seperti Dinas sosial dan Tokoh agama. Dan untuk para penegak hukum hendaknya memecahkan berbagai problem kejahatan pembunuhan yang dilanjuutkan mutilasi ini dengan cara penegakan hukum yang baik, teknik pelacakan korban dan pelaku yang canggih, pengamanan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang ketat serta ditunjang autopsi dan forensik yang tepat dan tentunya hal tersebut haruslah didukung oleh masyarakat dalam melaporkan kejadian dan siap menjadi saksi serta peran media massa sangat dibutuhkan agar masyarakat mengetahui kejahatan itu. Hendaknya hukuman mati adalah yang pantas untuk pelaku pembunuhan dilanjutkan mutilasi sebagai hukuman atas tindakan yang dinilai sangat tepat. Hal ini dikarenakan pelaku telah melakukan pembunuhan secara sadis dan kejam.
Terlepas dari unsur latar belakangnya, apapun mutilasi menurut hukum acara pidana (KUHAP) adalah perbuatan kriminal dan sebagai perbuatan di luar kewajaran. Jadi harus dituntut secara hukum antara lain dengan pasal 340 dan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana dan pantas bila mendapatkan pidana mati atau seumur hidup. Sehingga hal ini akan menimbulkan efek jera dan tidak akan ada lagi pelaku mutilasi ini kedepannya.


Semoga bermanfaat! 
 

Sumber Referensi :
- http://www.scribd.com/doc/22141095/mutilasi
- http://id.wikipedia.org/wiki/Mutilasi
- http://www.ubb.ac.id


Jumat, 04 Maret 2011

Askep Jiwa Dengan Sindrom Putus Zat (NAPZA)

 Narkoba, salah satu penyalahgunaan dan ketergantungan zat
 
Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada akhir-akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak koran dan majalah serta media elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin makin banyak masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model perilaku baru bagi kalangan remaja (DepKes, 2001).

Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang rendah tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan faktor lingkungan.

Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga misalnya kurang perhatian keluarga terhadap individu, kesibukan keluarga dan lainnya; faktor lingkungan lebih pada kurang positif sikap masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2000).

Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi zat dan withdrawal.

Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes, 2001).

Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).

A. Landasan teori

1. Pengertian
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995).

Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (DepKes., 2002).

Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan komplikasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pasca detoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2000).

Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit.

Menurut Hawari (2000) bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun (Wiguna, 2003).

Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). 

Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya

2. Proses Terjadinya Masalah
Proses terjadinya masalah penyalahgunaan dan ketergantungan zat memfokuskan pada zat yang sering disalahgunakan individu yaitu: opiat, amfetamin, canabis dan alkohol.

1) Rentang Respons Kimiawi
Perlu diingat bahwa pada rentang respons tidak semua individu yang menggunakan zat akan menjadi penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hanya individu yang menggunakan zat berlebihan dapat mengakibatkan penyalahgunaan dan ketergantungan zat.

Penyalahgunaan zat merujuk pada penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi berarti bahwa memerlukan peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan (Stuart dan Sundeen, 1995; Stuart dan Laraia, 1998).

2) Perilaku
3) Faktor penyebab.
Faktor penyebab pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA meliputi:
a. Faktor biologic
· Kecenderungan keluarga, terutama penyalahgunaan alcohol
· Perubahan metabolisme alkohol yang mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman

b. Faktor psikologik
· Tipe kepribadian ketergantungan
· Harga diri rendah biasanya sering berhub. dengan penganiayaan waktu masa kanak kanak
· Perilaku maladaptif yang diperlajari secara berlebihan
· Mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit
· Sifat keluarga, termasuk tidak stabil, tidak ada contoh peran yang positif, kurang percaya diri, tidak mampu memperlakukan anak sebagai individu, dan orang tua yang adiksi

c. Faktor sosiokultural
· Ketersediaan dan penerimaan sosial terhadap pengguna obat
· Ambivalens sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan berbagai zat seperti tembakau, alkohol dan mariyuana
· Sikap, nilai, norma dan sanksi cultural
· Kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil dan keterbatasan kesempatan

4) Diagnosis medis
DSM-III-R (American Psychiatric Association, 1987) membagi menjadi dua katagori yaitu psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik dan gangguan psikoaktif pengguna zat. Psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik mengakibatkan intoksikasi, withdrawal, delirium, halusinasi dan gangguan delusi, dan lainnya. Gangguan psikoaktif pengguna zat mengakibatkan ketergantungan atau penyalahgunaan (Wilson dan Kneisl, 1992).

Sedangkan DepKes (2001) menyatakan bahwa gejala psikiatri yang timbul adalah cemas, depresi dan halusinasi. Penelitian yang dilakukan di USA menunjukkan > 50% penyalahgunaan NAPZA non alkohol mengidap paling tidak satu gangguan psikiatri antara lain:
1) 26% mengalami gangguan alam perasaan seperti depresi, mania
2) 26% gangguan ansietas
3) 18% gangguan kepribadian antisocial
4) 7% skizofrenia

Mereka dengan penyalahgunaan alkohol sebanyak 37% mengalami komorbiditas psikiatri. Diagnosis medis dan keperawatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan dan penggunaan zat. Kurang dari 27 diagnosa keperawatan yang umumnya digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan yang dibagi menjadi 4 katagori yaitu: biologik, kognitif, psikososial dan spiritual. (Stuart dan Laraia, 1998).

Diagnosis NANDA(berhubungan dengan diagnosis keperawatan) yang utama adalah perubahan sensori persepsi, perubahan proses pikir, koping individu tidak efektif dan perubahan proses keluarga (Stuart dan Sundeen, 1995).

Gangguan yang berhubungan penyalahgunaan zat yang termasuk DSM-III ada 2 cara. Pertama, diagnosis utama yang berhubungan dengan penggunaan alkohol atau obat dikatagorikan juga sebagai gangguan yang berhubungan dengan zat. Klien gangguan yang berhubungan dengan zat juga didiagnosis sebagai gangguan psikiatrik axis I yang disebut dual diagnosis. Kedua, intoksikasi atau withdrawal penggunaan zat sangat berhubungan dengan salah satu tipe gangguan mental, dimana diagnosis tergantung pada katagori yang menjadi lokasi penyalahgunaan zat.

Contoh : seseorang yang mengalami depresi berhubungan dengan withdrawal alkohol, diagnosis medik adalah gangguan mood karena penggunaan (withdarawal) zat. Katagori yang termasuk dalam diagnosis karena penggunaan zat adalah delirium, demensia, psikotik, mood, kecemasan, sex dan tidur (Stuart dan Laraia, 1998).


B. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Prinsip pengkajian yang dilakukan dapat menggunakan format pengkajian di ruang psikiatri atau sesuai dengan pedoman yang ada di masing-masing ruangan tergantung pada kebijaksanaan rumah sakit dan format pengkajian yang tersedia. Adapun pengkajian yang dilakukan meliputi :
a. Perilaku
b. Faktor penyebab dan faktor pencetus
c. Mekanisme koping yang digunakan oleh penyalahguna zat meliputi:
· penyangkalan (denial) terhadap masalah
· rasionalisasi
· memproyeksikan tanggung jawab terhadap perilakunya
· mengurangi jumlah alkohol atau obat yang dipakainya
d. Sumber-sumber koping (support system) yang digunakan oleh klien

2. Diagnosa Keperawatan
Perlu diingat bahwa diagnosa keperawatan di ruang detoksifikasi bisa berulang di ruang rehabilitasi karena timbul masalah yang sama saat dirawat di ruang rehabilitasi. Salah satu penyebab muncul masalah yang sama adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga dalam membantu mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan zat.

Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi adalah selain masalah keperawatan yang berkaitan dengan fisik juga masalah keperawatan seperti:
a. Koping individu tidak efektif: ketidakmampuan menahan sugesti
b. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
c. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, dan seterusnya

Sedangkan masalah keperawatan di ruang rehabilitasi bisa sama dengan di ruang detoksifikasi, maka fokus utama diagnosa keperawatan NANDA di ruang rehabilitasi adalah:
a. Koping keluarga tidak efektif: ketidakmampuan
b. Kurang aktivitas hiburan, dan seterusnya

Contoh pohon masalah :
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Perencanaan keperawatan (rencana tindakan keperawatan) secara jelas dapat dilihat pada lampiran. Implementasi keperawatan yang dilakukan mengacu pada perencanaan keperawatan (rencana tindakan keperawatan) yang disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas masalah klien.

Berikut ini beberapa bentuk implementasi yang dilakukan pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu (Wilson dan Kneisl, 1992) :

a. Program intervensi.
Peran perawat adalah menentukan program yang cocok untuk klien sesuai dengan tingkat ketergantungan klien terhadap sakit dan gejala yang tampak. Untuk program di ruang rehabilitasi dibagi menjadi 2 yaitu: 1) rehabilitasi sewaktu-waktu dimana perawat berperan sebagai fasilitator bukan melakukan penanganan masalah fisik maupun psikiatri tetapi pada perawatan diri klien. Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan perawatan diri secara mandiri; 2) perawatan lanjutan, bertujuan untuk memberikan pemulihan kembali bagi klien yang mengalami ketergantungan alkohol dan zat atau penolakan keluarga terhadap klien.

b. Individu
Pendidikan untuk klien, misalnya menganjurkan klien untuk mengikuti sesi-sesi yang diadakan perawat secara individu sesuai kebutuhan klien, tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan klien dalam membantu memulihkan ketergantungan akan zat.
· Perubahan gaya hidup, yaitu mengajarkan klien dengan cara mendiskusikan koping yang biasa digunakan. Diharapkan klien dapat mengubah penggunaan koping dari destruktif menjadi koping yang konstruktif.
· Meningkatkan kesadaran diri klien, dengan cara mengidentifikasi hal-hal positif yang dimiliki klien dan bisa dikembangkan secara positif serta mengurangi hal-hal yang negatif dalam diri klien.

c. Keluarga
· Pendidikan kesehatan bagi keluarga yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami penyalahgunaan dan ketergantungan zat.

d. Kelompok
· Program twelve step : AA dan NA
· Terapi modalitas disesuaikan dengan kriteria dan kondisi klien yang akan diikutkan dalam terapi tersebut.

3. Intervensi Keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap cedera: jatuh berhubungan dengan kesulitan keseimbangan. 
- Kriteria hasil :
· mendemonstrasikan hilangnya efek-efek penarikan diri yang memburuk
· tidak mengalami cedera fisik

- Intervensi :
Mandiri
1) Identifikasi tingkat gejala putus alkohol, misalnya tahap I diasosiasikan dengan tanda/gejala hiperaktivitas (misalnya tremor, tidak dapat beristirahat, mual/muntah,diaforesis, takhikardi, hipertensi); tahap II dimanifestasikan dengan peningkatan hiperaktivitas ditambah dengan halusinogen; tingkat III gejala meliputi DTs dan hiperaktifitas autonomik yang berlebihan dengan kekacauan mental berat, ansietas, insomnia, demam.
2) Pantau aktivitas kejang. Pertahankan ketepatan aliran udara. Berikan keamanan lingkungan misalnya bantalan pada pagar tempat tidur.
3) Periksa refleks tenton dalam. Kaji cara berjalan, jika memungkinkan
4) Bantu dengan ambulasi dan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan

Kolaborasi
1) Berikan cairan IV/PO dengan hati-hati sesuai petunjuk
2) Berikan obat-obat sesuai petunjuk: benzodiazepin, oksazepam, fenobarbital, magnesium sulfat.

- Rasional :
1) Pengenalan dan intervensi yang tepat dapat menghalangi terjadinya gejala-gejala dan mempercepat kesembuhan. Selain itu perkembangan gejala mengindikasikan perlunya perubahan pada terapi obat-obatan yang lebih intensif untuk mencegah kematian.
2) kejang grand mal paling umum terjadi dan dihubungkan dengan penurunana kadar Mg, hipoglikemia, peningkatan alkohol darah atau riwayat kejang.
3) Refleksi tertekan, hilang, atau hiperaktif. Nauropati perifer umum terjadi terutama pada pasien neuropati
4) mencegah jatuh dengan cedera
5) mungkin dibutuhkan pada waktu ekuilibrium, terjadinya masalah koordinasi tangan/mata.
6) Penggantian yang berhati-hati akan memperbaiki dehidrasi dan meningkatkan pembersihan renal dari toksin sambil mengurangi resiko kelebihan hidrasi.

4. Evaluasi
Evaluasi penyalahgunaan dan ketergantungan zat tergantung pada penanganan yang dilakukan perawat terhadap klien dengan mengacu kepada tujuan khusus yang ingin dicapai. Sebaiknya perawat dan klien bersama-sama melakukan evaluasi terhadap keberhasilan yang telah dicapai dan tindak lanjut yang diharapkan untuk dilakukan selanjutnya.

Jika penanganan yang dilakukan tidak berhasil maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap tujuan yang dicapai dan prioritas penyelesaian masalah apakah sudah sesuai dengan kebutuhan klien.

Klien relaps tidak bisa disamakan dengan klien yang mengalami kegagalan pada sistem tubuh. Tujuan penanganan pada klien relaps adalah meningkatkan kemampuan untuk hidup lebih lama bebas dari penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Perlunya evaluasi yang dilakukan disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan, akan lebih baik perawat bersama-sama klien dalam menentukan tujuan ke arah perencanaan pencegahan relaps.



Daftar Kepustakaan
- Sub Literatur :
1. Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman penyelenggaraan sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
3. (2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di tempat rehabilitasi pada pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.
4. (2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas) mengenai penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.
5. Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (narkotik, alkohol dan zat adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
6. Rawlins, R.P., Williams, S.R., and Beck, C.K. (1993). Mental health-psychiatric nursing a holistic life-cycle approach. Third edition. St. Louis: Mosby Year Book.
7. Stuart, G.W., and Laraia, M. T. (1998). Principles and practice of psychiatric nursing. Sixth edition. St. Louis: Mosby Year Book.
8. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Principles and practice of psychiatric nursing. Fifth edition. St. Louis: Mosby Year Book.
9. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
10. Wilson, H.S., and Kneisl, C.R. (1992). Psychiatric nursing. California: Addison-Wesley.Wiguna, T. (2003). 

- Net Source 
- http://mentalnursingunpad.multiply.com/journal/item/7
- http://mustikanurse.blogspot.com/2007/02/asuhan-keperawatan-klien-dengan-sindrom.html



Sabtu, 26 Februari 2011

Askep Jiwa Dengan Waham

A. Landasan Teori
 
1. Pengertian
Waham adalah suatu sistem kepercayaan yang tidak dapat divalidasi/dipertemukan dengan realitas (Haber, 1982)
 
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien. Waham dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya penolakan, kekerasan, tidak ada kasih sayang, pertengkaran orang tua dan aniaya. (Budi Anna Keliat,1999).
 
Waham adalah kepercayaan yang salah terhadap obyek dan tidak konsisten dengan latar belakang intelektual dan budaya (Rawlin, 1993)

Waham

2. Jenis-jenis waham
a. Waham Agama
Keyakinan klien terhadap suatu agama secara berlebihan, diungkapkan berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan

b. Waham Kebesaran
Klien yakin bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, diucapkan berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan.

c. Waham Nihilistik
Klien yakin bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, diucapkan berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan.

d. Waham Sisip Pikir
Klien yakin bahwa ada ide pikiran orang lain yang disisipkan kedalam pikirannya, diucapkan berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan.

e. Waham Siar Pikir
Klien yakin orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan walaupun tidak dinyatakannya kepada orang tersebut, diucapkan berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan.

f. Waham Kontrol Pikir
Klien yakin pikirannya dikontrol oleh kekuatan dari luar, diucapkan berulangkali tetapi tidak sesuai kenyataan.
 
3. Penyebab
Salah satu penyebab dari perubahan proses pikir : waham yaitu Gangguan konsep diri : harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, dan merasa gagal mencapai keinginan.

Tanda dan Gejala :
a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
c. Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
d. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
e. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakhiri kehidupannya. ( Budi Anna Keliat, 1999)

4. Proses Terjadinya Waham
a. Perasaan diancam oleh lingkungan, cemas, merasa sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi
b. Mencoba mengingkari ancaman dari persepsi diri atau objek realitas dengan menyalahartikan kesan terhadap kejadian
c. Individu memproyeksikan pikiran dan perasaan internal pada lingkungan sehingga perasaan, pikiran, dan keinginan negatif/tidak dapat diterima menjadi bagian eksternal
d. Individu mencoba memberi pembenaran/rasional/alasan interpretasi personal tentang realita pada diri sendiri atau orang lain
 
 
5. Tanda dan Gejala
a. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan
b. Klien tampak tidak mempunyai orang lain
c. Curiga
d. Bermusuhan
e. Merusak (diri, orang lain, lingkungan)
f. Takut, sangat waspada
g. Tidak tepat menilai lingkungan/ realitas
h. Ekspresi wajah tegang
i. Mudah tersinggung (Azis R dkk, 2003)
 
6. Akibat dari Waham
Klien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

Tanda dan Gejala :
a. Memperlihatkan permusuhan
b. Mendekati orang lain dengan ancaman
c. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
d. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
e. Mempunyai rencana untuk melukai



B. Asuhan Keperawatan

1. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

1. Masalah keperawatan : Perubahan proses pikir : waham

Data subjektif :
  • Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan.
Data objektif :
  • Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai lingkungan/ realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.
2. Diagnosa Keperawatan
1). Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan waham.
2). Perubahan proses pikir : waham berhubungan dengan harga diri rendah.

3. Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa 1: Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berubungan dengan waham.

Tujuan umum :
  • Klien tidak menciderai diri, orang lain, dan lingkungan.
Tujuan khusus :

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat. 
    Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan interaksinya.

Tindakan :
  • Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas (topik, waktu, tempat).
  • Jangan membantah dan mendukung waham klien : katakan perawat menerima keyakinan klien "saya menerima keyakinan anda" disertai ekspresi menerima, katakan perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan empati, tidak membicarakan isi waham klien.
  • Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi : katakan perawat akan menemani klien dan klien berada di tempat yang aman, gunakan keterbukaan dan kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.
  • Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan perawatan diri.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki. 
    Rasional : Dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki klien, maka akan memudahkan perawat untuk mengarahkan kegiatan yang bermanfaat bagi klien dari pada hanya memikirkannya.

Tindakan :
  • Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis.
  • Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan saat ini yang realistis.
  • Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk melakukannya saat ini (kaitkan dengan aktivitas sehari hari dan perawatan diri).
  • Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan waham tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat penting.
3. Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak terpenuhi. 
    Rasional : Dengan mengetahui kebutuhan klien yang belum terpenuhi perawat dapat merencanakan untuk memenuhinya dan lebih memperhatikan kebutuhan klien tersebut sehingga klien merasa nyaman dan aman.

Tindakan :
  • Observasi kebutuhan klien sehari-hari.
  • Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di rumah maupun di rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah).
  • Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.
  • Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan memerlukan waktu dan tenaga (buat jadwal jika mungkin).
  • Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan wahamnya.
4. Klien dapat berhubungan dengan realitas. 
    Rasional : Menghadirkan realitas dapat membuka pikiran bahwa realita itu lebih benar dari pada apa yang dipikirkan klien sehingga klien dapat menghilangkan waham yang ada.

Tindakan :
  • Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain, tempat dan waktu).
  • Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas.
  • Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien.
5. Klien dapat menggunakan obat dengan benar. 
    Rasional : Penggunaan obat yang secara teratur dan benar akan mempengaruhi proses penyembuhan dan memberikan efek dan efek samping obat.

Tindakan :
  • Diskusikan dengan klien tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek dan efek samping minum obat.
  • Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama pasien, obat, dosis, cara dan waktu).
  • Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
  • Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.
6. Klien dapat dukungan dari keluarga. 
   Rasional : Dukungan dan perhatian keluarga dalam merawat klien akan mambentu proses penyembuhan klien.
Tindakan:
  • Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga tentang : gejala waham, cara merawat klien, lingkungan keluarga dan follow up obat.
  • Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga
 
2. Diagnosa 2: Perubahan proses pikir: waham berhubungan dengan harga diri rendah

Tujuan umum :
  • Klien tidak terjadi perubahan proses pikir: waham dan klien akan meningkat harga dirinya.
Tujuan khusus :

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya 

Tindakan :
  • Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri, jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan)
  • Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
  • Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
  • Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

Tindakan :
  • Klien dapat menilai kemampuan yang dapat Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
  • Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan memberi pujian yang realistis
  • Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.

Tindakan :
  • Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
  • Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah
4. Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki

Tindakan :
  • Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan
  • Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
  • Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan 

Tindakan :
  • Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
  • Beri pujian atas keberhasilan klien
  • Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada

Tindakan :
  • Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien.
  • Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
  • Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
  • Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
4. Evaluasi
a. Klien percaya dengan perawat, terbuka untuk ekspresi waham
b. Klien menyadari kaitan kebutuhan yg tdk terpenuhi dg keyakinannya (waham) saat ini
c. Klien dapat melakukan upaya untuk mengontrol waham
d. Keluarga mendukung dan bersikap terapeutik terhadap klien
e. Klien menggunakan obat sesuai program

Daftar Pustaka
  1. Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 thed.). St.Louis Mosby Year Book, 1995
  2. Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
  3. Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
  4. Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo, 2003
  5. Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP Bandung, 2000


Sumber Referensi :
- http://yoedhasflyingdutchman.blogspot.com/2010/04/asuhan-keperawatan-pasien-dengan-waham.html#
- http://materi-kuliah-akper.blogspot.com/2010/06/waham.html



Kamis, 24 Februari 2011

Askep Jiwa Dengan Gangguan Kognitif

A. Landasan Teori 

1. Pengertian
Kognitif adalah : Kemampuan berpikir dan memberikan rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan. (Stuart and Sundeen, 1987. Hal.612).
Gangguan kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak, karena kemampuan pasien untuk berpikir akan dipengaruhi oleh keadaan otak .

Klien Gangguan Kognitif

2. Fungsi Otak
1). Lobus Frontalis
  • Pada bagian lobus ini berfungsi untuk : Proses belajar : Abstraksi, Alasan
2). Lobus Temporal
  • Diskriminasi bunyi
  • Perilaku verbal
  • Berbicara
3). Lobus Parietal
  • Diskriminasi waktu
  • Fungsi somatic
  • Fungsi motorik
4). Lobus Oksipitalis
  • Diskriminasi visual
  • Diskriminasi beberapa aspek memori

5). Sisitim Limbik
  • Perhatian
  • Flight of idea
  • Memori
  • Daya ingat
Secara umum apabila terjadi gangguan pada otak, maka seseorang akan mengalami gejala yang berbeda, sesuai dengan daerah yang terganggu yaitu :

1). Gangguan pada lobus frontalis , akan ditemukan gejala-gejala sbb :
  • Kemampuan memecahkan masalah berkurang
  • Hilang rasa sosial dan moral
  • Impilsif
  • Regres
2). Gangguan pada lobus temporalis akan ditemukan gejala sbb :
  • Amnesia
  • Dimensia
3). Gangguan pada lobus parietalis dan oksipitalis akan ditemukan gejala gejala yang hampir sama, tapi secara umum akan terjadi disorientasi

4). Gangguan pada sistim limbik akan menimbulkan gejala yang bervariasi antara lain :
  • Gangguan daya ingat
  • Memori
  • Disorientasi


B. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Faktor Predisposisi
  • Gangguan fungsi susunan saraf pusat
  • Gangguan pengiriman nutrisi
  • Gangguan peredaran darah
b. Faktor Presipitasi
  • Hipoksia
  • Anemia hipoksik
  • Histotoksik hipoksia
  • Hipoksemia hipopoksik
  • Iskemia hipoksik
Suplai darah ke otak menurun/berkurang

1. Gangguan metabolisme
Malfungsi endokrin : Underproduct / Overproduct Hormon
  • Hipotiroidisme
  • Hipertiroidisme
  • Hipoglikemia
  • Hipopituitarisme
2. Racun, Infeksi
  • Gagal ginjal
  • Syphilis
  • Aids Dement Comp
3. Perubahan Struktur
  • Tumor
  • Trauma
4. Stimulasi Sensori
  • Stimulasi sensori berkurang
  • Stimulasi berlebih
c. Perilaku
Delirum adalah : Suatu keadaan proses pikir yang terganggu, ditandai dengan: Gangguan perhatian, memori, pikiran dan orientasi
Demensia : Suatu keadaan respon kognitif maladaptif yang ditandai dengan hilangnya kemampuan intelektual/ kerusakan memori, penilaian, berpikir abstrak.

Karakteristik Delirium dan demensia
  • Biasanya tiba-tiba
  • Biasanya singkat/ < 1 bulan
  • Racun, infeksi, trauma,
  • Fluktuasi tingkat kesadaran 
  • Disorientasi 
  • Gelisah
  • Agitasi
  • Biasanya perlahan 
  • Biasanya lama dan progressif 
  • Paling banyak dijumpai pada usia & gt; 65 th
  • Hipertensi, hipotensi, anemia. Racun, deficit vitamin, tumor atropi jaringan otak
  • Hilang daya ingat
  • Kerusakan penilaian
  • Perhatian menurun
  • Perilaku sosial tidak
  • Ilusi
  • Halusinasi
  • Pikiran tidak teratur
  • Gangguan penilaian dan pengambilan keputusan
  • Afek labil
  • Sesuai
  • Agitasi
d. Mekanisme koping
  • Dipengaruhi pengalaman masa lalu
  • Regresi
  • Rasionalisasi
  • Denial
  • Intelektualisasi
e. Sumber Koping
  • Pasien
  • Keluarga
  • Teman
2. Diagnosa Keperawatan
  • Anxietas
  • Komunikasi, kerusakan verbal
  • Resiko tinggi terhadap cedera
  • Sindrom defisit perawatan diri ( mandi,/kebersihan diri, makan, berpakaian, berhias, toileting
  • Perubahan sensori/perseptual ( penglihatan, pendengaran, pengecapan,
  • perabaan, dan penghidu)
  • Gangguan pola tidur
  • Perubahan proses pikir ( Stuart and Sundeen, 1995.hal 556 )
a. Gangguan proses pikir berhubungan dengan gangguan otak ditandai dengan :
  • Interpretasi lingkungan yang tidak akurat
  • Kurang memori saat ini
  • Kerusakan kemampuan memberikan rasional
  • Konfabulasi
b. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan :
  • Ketakutan
  • Disorientasi yang ditandai dengan perilaku agitasi
c. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan :
  • Kerusakan kognitif
  • Kehilangan memori saat ini
  • Konfabulasi
3. Intervensi Keperawatan
a. Identifikasi hasil :
  • Pasien dapat mencapai fungsi kognitif yang optimal
b. Prioritas :
  • Menjaga keselamatan hidup
  • Pemenuhan kebutuhan bio-psiko-sosial
  • Libatkan keluarga
  • Pendidikan kesehatan mental
c. Usaha perawatan :
  • Memfungsikan pasien seoptimal mungkin sesuai kemampuan pasien
4. Implementasi Keperawatan

1. Intervensi Delirium :

a. Kebutuhan Fisiologis
  • Prioritas : menjaga keselamatan hidup
  • Kebutuhan dasar dengan mengutamakan nutrisi dan cairan
  • Jika pasien sangat gelisah perlu :
  • Pengikatan untuk menjaga therapi, tapi sedapat mungkin harus
  • dipertimbangkan dan jangan ditinggal sendiri
  • Gangguan tidur : Kolaborasi pemberian obat tidur, Gosok punggung, Beri susu hangat, Berbicara lembut, Libatkan keluarga, Temani menjelang tidur, Buat jadwal tetap untuk bangun dan tidur, Hindari tidur diluar jam tidur, Mandi sore dengan air hangat, Hindari minum yang dapat mencegah tidur seperti : kopi, dll, Lakukan methode relaksasi seperti : napas dalam
b. Disorientasi :
  • Ruangan yang terang
  • Buat jam, kalender dalam ruangan
  • Lakukan kunjungan sesering mungkin
  • Orientasikan pada situasi lingkungan
  • Beri nama/ petunjuk/ tanda yang jelas pada ruangan/ kamar
  • Orientasikan pasien pada barang milik pribadinya ( kamar, tempat tidur, lemari, photo keluarga, pakaian, sandal ,dll)
  • Tempatkan alat-alat yang membantu orientasi massa
  • Ikutkan dalam therapi aktifitas kelompok dengan program orientasi realita (orang, tempat, waktu).
c. Halusinasi
  • Lindungi pasien dan orang lain dari perilaku merusak diri
  • Ruangan : Hindari dari benda-benda berbahaya, Barang-barang seminimal mungkin
  • Perawatan 1 – 1 dengan pengawasan yang ketat
  • Orientasikan pada realita
  • Dukungan dan peran serta keluarga
  • Maksimalkan rasa aman
  • Sikap yang tegas dari pemberi/ pelayanan perawatan (konsisten)
d. Komunikasi
  • Pesan jelas
  • Sederhana
  • Singkat dan beri pilihan terbatas
e. Pendidikan kesehatan
  • Mulai saat pasien bertanya tentang yang terjadi pada keadaan
  • sebelumnya
  • Seharusnya perawat harus harus tahu sebelumnya tentang : Masalah pasien, Stressor, Pengobatan, Rencana perawatan, Usaha pencegahan, Rencana perawatan dirumah
  • Penjelasan diulang beberapa kali
  • Beri petunjuk lisan dan tertulis
  • Libatkan anggota keluarga agar dapat melanjutkan perawatan dirumah dengan baik sesuai rencana yang telah ditentukan
2). Intervensi Demensia :

a. Orientasi
  • Tujuan : Membentuk pasien berfungsi dilingkungannya
  • Tulis nama petugas pada kamar pasien jelas, besar, sehingga dapat dibaca pasien
  • Orientasikan pada situasi lingkungan
  • Perhatikan penerangan terutama dimalam hari
  • Kontak personal dan fisik sesring mungkin
  • Libatkan dalam kegiatan T.A.K
  • Tanamkan kesadaran : Mengapa pasien dirawat, Memberikan percaya diri, Berhubungan dengan orang lain, Tanggap situasi lingkungan dengan menggunakan panca indera, Interaksi personal
  • Identifikasi proses pulang
b. Komunikasi
  • Membina hubungan saling percaya : Umpan balik yang positif, Tentramkan hati, Ulangi kontrak, Respek, pendengaran yang baik, Jangan terdesak, Jangan memaksa
  • Komunikasi verbal : Jelas, Ringkas, Tidak terburu buru
  • Topik percakapan dipilih oleh pasien
  • Topik buat spesipik
  • Waktu cukup untuk pasien
  • Pertanyaan tertutup
  • Pelan dan diplomatis dalam menghadapi persepsi yang salah
  • Empati
  • Gunakan tehnik klarifikasi
  • Summary
  • Hangat
  • Perhatian
c. Pengaturan koping
  • Koping yang selama dipakai ini yang positif positif dimaksimalkan dan yang negatif diminimalkan
  • Bantu mencari koping baru yang posistf
d. Kurangi agitasi
  • Didorong melakukan sesuatu yang tidak biasa dan tidak jelas
  • Beri penjelasan
  • Beri pilihan
  • Penyaluran energi : Perawatan mandiri, Menggunakan kekuatan dan kemampuan dengan tepat, misalnya berolahraga
  • Saat agitasi : Tetap senyum, Tunjukkan sikap bersahabat, Empati
e. Keluarga dan masyarakat
  • Siapkan keluarga untuk menerima keadaan pasien
  • Siapkan fasilitas dalam berinteraksi dengan dimasyarakat
  • Perlu bantuan dalam merawat 24 jam dirumah, yang diprogramkan melalui : Puskesmas, Pos-pos pelayanan kesehatan dirumah sakit
f. Farmakologi
  • Tergantung penyebab gangguan, seperti : Penyakit Alzheimer’s
  • Pada orang tua harus hati-hati, karena keadaan yang sensitive
g. Wandering
  • Perilaku yang harus diperhatikan oleh pemberi perawatan
h. Therapeutik Milieu
  • Stimulasi kognitif
i. Intervensi interpersonal
  • Psychotherapi
  • Life review therafi
  • Untuk menyelesaikan masalah yang melibatkan individu dan kelompok dengan saling menceritakan riwayat hidup latihan dan terafi kognitif
  • Therapi relaksasi
  • Kelompok pendukung dan konseling
j. Gangguan daya ingat
  • Mulai percakapan dengan menyebut nama anda dan panggil nama pasien
  • Hindarkan konfrontasi atas pernyataan pasien yang salah
  • Penataan barang pribadi jangan dirubah
  • Lakukan program orientasi
Daftar Pustaka
  1. Fortinash, C.M, dan Holloday, P.A. (1991). Psychiatric nursing care plan. St.Louis : Mosby year book
  2. Keltner, N.L, Schueke, L.H dan Bostrom, CE (1991). Psychiatric nursing :a psycho therapeutic management approach. St. Louis : Mosby year book
  3. Stuart, Gw. and Sundeen S.J (1995). Perbandingan Delirium, Depresi dan Demensia.St.louis : Mosby year book
  4. Stuart, Gw. And Sundeen S.J (1995). Pendidikan Kesehtan Keluarga . St. Louis Mosby Year book
  5. Stuart, Gw. And Sundeen S,J (1987). Petunjuk Komunikasi dengan Pasien Demensia.St. Louis Mosby year Book
  6. Towsend, M.C (1993). Psychiatric Mental Health Nursing : Concept of Care .Philadelphia, 2nd, Davis Company.
  7. Wilson, H.S, and Kneils, C.R . (1992). Psychiatric Nursing . California : Addison



Sumber Referensi : 
- http://yoedhasflyingdutchman.blogspot.com/2010/04/asuhan-keperawatan-pasien-dengan_9689.html#