Tampilkan postingan dengan label THT - Mata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label THT - Mata. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Februari 2011

Askep Klien Dengan Central Serous Chorioretinopathy

1. Definisi
Retinopati serosa sentral adalah suatu keadaan lepasnya retina dari lapis pigmen epitel di daerah makula akibat masuknya cairan melalui membran Bruch dan pigmen epitel yang inkompeten; yang nyatanya terlihat sebagai edema makula.

Retinopati serosa sentral merupakan kelainan pada makula lutea berupa penimbunan cairan yang mengakibatkan edema makula. Retinopati serosa sentral terutama terdapat pada dewasa muda. Laki-laki lebih banyak terkena dibanding wanita terutama yang sedang menderita stress berat, dimana tajam penglihatan akan turun secara mendadak dengan terdapatnya skotoma sentral dengan metamorfopsia.
 
Retinopati serosa sentral atau korioretinopati serosa sentral adalah sebuah penyakit dimana terdapat ablasio serosa retina neurosensorik sebagai akibat dari kebocoran cairan setempat dari koriokapilaris melalui suatu defek di epitel pigmen retina. Penyebab-penyebab lain bocornya epitel pigmen retina, seperti neovaskularisasi koroid, inflamasi atau tumor harus dipisahkan untuk membuat diagnosis.

Retinopati serosa sentral dapat dibagi menjadi dua gambaran klinis yang berbeda. Secara klasik, retinopati serosa sentral disebabkan oleh satu atau lebih kebocoran terpisah yang berlainan pada tingkat epitel pigmen retina yang terlihat pada angiografi fluoresens. Bagaimanapun, saat ini diketahui bahwa retinopati serosa sentral dapat muncul sebagai disfungsi epitel pigmen retina difus (misal epiteliopati pigmen retina difus, retinopati serosa sentral kronik, epitel pigmen retina terdekompensasi) yang ditandai dengan lepasnya retina neurosensorik melewati area atrofi epitel pigmen retina dan pigmen mottling. Selama angiografi fluoresens area hiperfluoresens granular yang luas berisi satu atau beberapa kebocoran halus yang terlihat.

2. Anatomo dan Fisiologi
a. Retina
Retina merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Walaupun ukurannya kompak dan tampak sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf misalnya korteks serebrum, retina memiliki daya pengolahan yang sangat canggih. Pengolahan visual retina diuraikan oleh otak, dan persepsi warna, kontras, kedalaman, dan bentuk berlangsung di korteks.

b. Anatomi
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan multi lapis yang melapisi bagian dalam 2/3 posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare dan berakhir di tepi ora serata. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan membran Bruch, koroid dan sklera. Di sebagian besar tempat, retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah hingga membentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada diskus optikus dan ora serata, retina dan epitelium pigmen retina saling melekat kuat, sehingga membatasi perluasan cairan subretina pada ablasio retina. Hal ini berlawanan dengan ruang subkoroid yang dapat terbentuk antara koroid dan sklera, yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian ablasi koroid meluas melewati ora serata, di bawah pars plana dan pars plikata. Permukaan dalam retina menghadap ke vitreus.

 Anatomi Retina

Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut :
  1. Membrana limitans interna
  2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju ke nervus optikus
  3. Lapisan sel ganglion
  4. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan-sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar
  5. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
  6. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel bipolar dan sel horisontal dengan fotoreseptor
  7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor
  8. Membrana limitans eksterna
  9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar, batang dan kerucut
  10. Epitelium pigmen retina
c. Fisiologi
Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itulah makula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).

d. Pemeriksaan
Retina dapat diperiksa dengan oftalmoskop langsung atau tidak langsung atau dengan slitlamp (biomikroskop) dan lensa bikonveks kontak atau genggam. Dengan alat-alat ini, secara klinis pengamat yang berpengalaman mampu memisahkan lapisan-lapisan retina untuk menentukan jenis, tingkat, dan luas suatu penyakit retina. Fotografi fundus dan angiografi fluoresens merupakan alat bantu dalam pemeriksaan klinis: fotografi memungkinkan dokumentasi untuk perbandingan kemudian, dan angiografi menghasilkan detil vaskular yang penting untuk terapi penyakit retina dengan laser.

3. Etiologi
Retinopati serosa sentral sering disebut retinopati serosa sentral idiopatik yang artinya penyebabnya tidak diketahui.(1,6,7) Namun demikian, stres tampaknya memainkan peranan penting. Retinopati serosa sentral juga dihubungkan dengan kortisol dan kortikosteroid, dan orang dengan tingkat kortisol lebih tinggi daripada normal juga memiliki kecenderungan untuk menderita retinopati serosa sentral.

4. Patofisiologi
Hipotesa patofisiologi sebelumnya termasuk transpor ion abnormal melewati epitel pigmen retina dan vaskulopati koroid fokal. Munculnya angiografi ‘hijau indosianin’ telah menyoroti pentingnya sirkulasi koroid pada patogenesis retinopati serosa sentral. Angiografi ‘hijau indosianin’ telah mendemonstrasikan area hipermeabilitas dan hiperfluoresens koroid multifokal yang mengusulkan kompromi vaskuler koroid fokal. Beberapa pengamat meyakini bahwa kompromi vaskuler koroid pertama yang kemudian mengarah pada disfungsi sekunder melalui epitel pigmen retina.

Beberapa studi menggunakan elektroretinografi telah mendemonstrasikan disfungsi retinal difus bilateral bahkan ketika retinopati serosa sentral hanya aktif pada satu mata. Studi-studi ini mendukung keyakinan pada efek sistemik difus pada vaskularisasi koroid.

Kepribadian tipe A, hipertensi sistemik, dan sleep apnea obstruktif mungkin duhubungkan dengan retinopati serosa sentral. Diduga patogenesisnya adalah karena meningkatnya sirkulasi kortisol dan epinefrin, yang mempengaruhi autoregulasi dari sirkulasi koroid. Lebih lanjut, Tewari dkk mendemonstrasikan pasien dengan retinopati serosa sentral yang menunjukkan terganggunya respon autonomik yang secara berarti menurunkan aktifitas parasimpatetik dan secara berarti meningkatkan aktifitas simpatik.

Kortikosteroid memiliki efek langsung pada ekspresi gen reseptor adrenergik sehingga menambah efek keseluruhan katekolamin pada patogenesis retinopati serosa sentral. Berikutnya studi yang beragam telah dengan yakin melibatkan efek kortikosteroid pada perkembangan retinopati serosa sentral.

5.  Mortalitas/Morbiditas
Ablasio retina serosa secara khusus sembuh spontan pada kebanyakan pasien. Bahkan dengan kembalinya ketajaman penglihatan sentral yang baik, banyak dari pasien-pasien ini masih terdapat diskromatopsia, hilangnya sensitivitas terhadap kontras, metamorfopsia atau yang paling jarang adalah niktalopia.

Pasein dengan retinopati serosa sentral (yang ditandai dengan kebocoran setempat) memiliki resiko rekurensi 40-50℅ pada mata yang sama. Resiko terjadinya neovaskularisasi koroid yang muncul dari retinopati serosa sentral sebelumnya siperkirakan kecil (<>(2).

6. Usia dan Jenis Kelamin
Secara klasik, retinopati serosa sentral lebih sering mengenai laki-laki pada usia 20-55 tahun dengan kepribadian tipe A. Kondisi ini mempengaruhi laki-laki 6-10 kali lebih banyak dibandingkan perempuan.

7. Diagnosis
- Gambaran Klinis
  • Pandangan kabur / visus menurun 
  • Skotoma sentral 
  • Mikropsia
  • Metamorfopsia 
  • Penurunan kemampuan melihat warna dan kontras 
- Pemeriksaan Klinis
  • Oftalmoskopi indirek
Pada kasus tipikal telah menunjukkan lingkaran dangkal atau peninggian oval pada retina sensoris pada kutub posterior.
Lepasnya lapisan serosa retina neurosensoris, peninggian kubah jernih biasanya pada daerah perifovea, menyebabkan peningkatan relatif dalam hiperopia, penurunan yang dihubungkan pada ketajaman penglihatan tak terkoreksi dan mengubah refleks membran limitans interna. Lesi ini biasanya menghilang secara spontan dalam 3 – 4 bulan.
  • Biomikroskopi slitlamp
Perlu sekali dilakukan dalam menegakkan diagnosa dan menyingkirkan penyebab lain lepasnya retina sensoris (misal lubang diskus optikus, koloboma diskus optikus, tumor koroid dan membran neovaskuler subretina). Biomikroskopi menunjukkan retina sensoris yang terlepas sebagai sesuatu yang transparan dengan ketebalan yang normal. Terpisahnya retina sensoris yang terlepas tersebut dari epitel pigmen retina yang mendasarinya dapat diketahui dengan menandai bayangan semu diatas epitel pigmen retina oleh pembuluh darah retina. Pada kasus tertentu, presipitat-presipitat kecil dapat dilihat pada permukaan posterior retina sensoris yang terlepas. Kadang-kadang daerah abnormal pada epitel pigmen retina dapat juga dijumpai melalui cairan yang bocor dari koriokapiler ke dalam ruang subretina dan pada beberapa kasus terlepasnya epitel pigmen retina yang kecil dapat dijumpai dalam lapisan serosa yang lepas. Cairan subretina dapat jernih maupun keruh.
  • Angiografi fluorosens
Walaupun dalam banyak kasus diagnosa dibuat secara klinis, angiografi fluoresens membantu dalam membuat diagnosa pasti retinopati serosa sentral, dan dalam menyingkirkan munculnya membran neovaskuler subretina dalam kasus-kasus atipikal. Pada retinopati serosa sentral terdapat kerusakan sawar retina-darah bagian luar yang memungkinkan lewatnya molekul fluoresens bebas ke dalam ruang subretina. Pada angiografi ada 2 pola yang terlihat :
  1. Gambaran kumpulan-asap (smoke-stack)
Selama fase awal perpindahan zat kontras, bintik hiperfluoresens muncul yang kemudian membesar secara vertikal. Selama fase vena lambat, cairan memasuki ruang subretina dan naik secara vertikal (seperti kumpulan asap) dari titik kebocoran sampai mencapai batas atas lepasannya. Zat kontras kemudian menyebar ke lateral mengambil bentuk mushroom atau payung, sampai keseluruhan area yang lepas terisi.(8)
  1. Gambaran noda tinta (ink-blot)
Kadang-kadang dapat terlihat pada bintik hiperfluoresens pertama yang berangsur-angsur bertambah ukurannya sampai seluruh ruang subretina terisi.

8. Diagnosa Banding
  • Degenerasi makula terkait-usia
  • Edema makula Irvine-Gass
  • Lubang makula
  • Membran neovaskular subretina
  • Neovaskularisasi koroid
  • Ablasio retina eksudatif
  • Penyakit Vogt-Koyanagi-Harada
9. Penatalaksanaan
Fotokoagulasi laser harus dipertimbangkan bagi keadaan-keadaan berikut: 
(1) ablasio retina serosa persisten lebih dari 4 bulan,
(2) rekurensi pada satu mata dengan penurunan penglihatan akibat retinopati serosa sebelumnya,
(3) munculnya penurunan penglihatan pada mata yang berlawanan akibat dari kejadian retinopati serosa sentral sebelumnya
(4) pekerjaan, atau pasien membutuhkan syarat perbaikan penglihatan segera.

Keberhasilan fotokoagulasi laser tidak terbukti jelas dalam menangani tempat lepasnya dan bocornya epitel pigmen retina jika fotokoagulasi laser ditempatkan pada area fovea. Robertson dan Ilstrup (1983) mengamati bahwa fotokoagulasi laser langsung pada area kebocoran epitel pigmen retina memperpendek kejadian retinopati serosa sentral kira-kira 2 bulan. Para pengamat ini lebih lanjut mencatat bahwa tidak terdapat rekurensi dalam periode 18 bulan, dimana rekurensi sebesar 34 ℅ telah diamati pada sekelompok pasien dengan fotokoagulasi indirek atau palsu.

Fotokoagulasi laser pada tempat kebocoran pada epitel pigmen retina tidak terlihat mempengaruhi hasil akhir visual secara bermakna. Fotokoagulasi laser tidak mengurangi baik angka rekurensi maupun prevalensi penyakit kronik dimana perubahan epitel pigmen epitel progresif menimbulkan ancaman hilangnya penglihatan secara permanen. Bagaimanapun, fotokoagulasi laser mempercepat penyembuhan gejala dengan mempersingkat lepasnya serosa lebih cepat.
Termoterapi transpupil telah dianjurkan sebagai alternatif dengan resiko lebih rendah dibandingkan fotokoagulasi laser pada kasus dimana kebocoran terdapat pada makula sentral.
Penderita retinopati serosa sentral biasanya menemukan cara mereka sendiri untuk menangani kondisi mereka, yang mungkin termasuk mengurangi stres dan mengubah pola makan.

10. Prognosis
Retinopati serosa sentralis merupakan penyakit yang akan hilang sendiri; biasanya akan terjadi remisi lengkap dalam 6 bulan. Retinopati serosa sentral dapat bersifat residif. Sekitar 80℅ akan mengalami resolusi cairan subretina spontan dan kembali normal atau mendekati normal, dalam 1-6 bulan. 20℅ sisanya lebih lama dari 6 bulan, namun mengalami resolusi dalam 12 bulan. Pada keadaan ini cairan subretina akan diserap kembali dan retina akan melekat kembali pada epitel pigmen tanpa gejala sisa subyektif yang menyolok. Metamorfopsia, penurunan dalam penglihatan cahaya, dan perubahan dalam penglihatan warna dapat bertahan selama beberapa bulan dalam derajat yang ringan namun jarang menimbulkan kecacatan; dan mungkin juga menjadi permanen akibat serangan rekuren multipel ataupun ablasio yang lama. Ketajaman penglihatan cenderung kembali normal. Jika gejala secara khusus mengganggu, fotokoagulasi laser dapat menurunkan lamanya waktu untuk resolusi

11. Komplikasi
  • Sebagian kecil pasien mengalami neovaskularisasi koroid pada tempat kebocoran dan bekas laser. Pengamatan retrospektif kasus ini menunjukkan bahwa setengah dari pasien-pasien tersebut mungkin memiliki tanda-tanda neovaskularisasi koroid semu pada saat pengobatan. Pada pasien yang lain, resiko neovaskularisasi koroid mungkin meningkat dengan pengobatan laser.
  • Ablasio retina bulosa akut dapat muncul sebaliknya pada pasien sehat dengan retinopati serosa sentral. Gambarannya dapat menyerupai penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, ablasio retina regmatogenus, atau efusi uvea. Sebuah laporan kasus telah melibatkan penggunaan kortikosteroid pada retinopati serosa sentral sebagai faktor yang meningkatkan kemungkinan pembentukan fibrin subretina. Mengurangi dosis kortikosteroid secara bertahap akan menghasilkan perbaikan pada ablasio retina serosa
  • Dekompensasi epitel pigmen retina akibat serangan berulang akan berakibat atrofi epitel pigmen retina dan berikutnya atrofi retina. Dekompensasi epitel pigmen retina adalah manifestasi retinopati serosa sentral namun dapat juga dianggap sebagai komplikasi jangka panjang.

Sumber Referensi : 
- http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2009/06/29/central-serous-chorioretinopathy/


Askep Klien Dengan Pterygium


1. Definisi
Pterigium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea. Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah kornea, sehingga bisa menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke pupil, jika sampai menutup pupil maka penglihatan kita akan terganggu. Suatu pterygium merupakan massa ocular eksternal superficial yang mengalami elevasi yang sering kali terbentuk diatas konjungtiva perilimbal dan akan meluas ke permukaan kornea. Pterygia ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang besar sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusakkan topografi kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik dari kornea.2,5
Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita. Evakuasi medis dari dokter mata akan menentukan tindakan medis yang maksimal dari setiap kasus, tergantung dari banyaknya pembesaran pterygium. Dokter juga akan memastikan bahwa tidak ada efek samping dari pengobatan dan perawatan yang diberikan.2,5

pterygium 
  Pterygium

2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 400 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 280-360. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini.
Di dunia, hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah atas lintang utara dan relative terjadi peningkatan untuk daerah di bawah garis balik lintang utara.

3. Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau penglihatan bila kasusnya telah lanjut. Mata ini bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan irritasi okuler dan mata merah.
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1.        Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita.
2.        Umur
Jarang sekali orang menderita pterygia umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygia yang paling tinggi.
Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam keluhan, yang mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang membesar dan kedua mata terserang penyakit ini.

4. Etiologi
Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga merupakan suatu neoplasma radang dan degenerasi. Namun, pterigium banyak terjadi pada mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan banyak terkena panas terik matahari. Faktor resiko terjadinya pterigium adalah tinggal di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar. Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, dan angin (udara panas) yang mengenai konjungtiva bulbi berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti zat allegen, kimia dan zat pengiritasi lainnya. Pterigium Sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak.

5. Patofisiologi
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan ploriferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Secara histopalogis ditemukan epitel konjungtiva irrekuler kadang-kadang berubah menjadi gepeng. Pada puncak pteregium, epitel kornea menarik dan pada daerah ini membran bauman menghilang. Terdapat degenerasi stauma yang berfoliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh pembulih darah. Degenerasi ini menekan kedalam kornea serta merusak membran bauman dan stoma kornea bagian atas.

6. Manifestasi Klinis
·   Mata irritatatif, merah dan mungkin menimbulkan astigmatisme
·   Kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke kornea (Zone Optic)
·   Dapat diserati keratitis Pungtata, delen (Penipisan kornea akibat kering) dan garis besi yang terletak di ujung pteregium.

7. Klasifikasi dan Grade
- Klasifikasi Pterygium:
1.  Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
2.  Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.

- Grade pada Pterygium :
·    Grade 1      : tipis (pembuluh darah konjungtiva yang menebal dan konjungtiva sklera masih dapat dibedakan),                           pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
·     Grade 2        : pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
·     Grade 3        : resiko kambuh, ngganjel, hiperemis, pada orang muda (20-30 tahun), mudah kambuh.

8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari pterygium adalah pseudopterygium, pannus dan kista dermoid.

9. Diagnosis
- Pemeriksaan Fisik
Pterygium bisa berupa berbagai macam perubahan fibrofaskular pada permukaan konjungtiva dan pada kornea. Penyakit ini lebih sering menyerang pada konjungtiva nasal dan akan meluas ke kornea nasal meskipun bersifat sementara dan juga pada lokasi yang lain.

Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai berikut :
1.   Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi minimal dan penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih dan pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh setelah dilakukan eksisi.
2.  Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat dan terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Ptrerygium dalam grup ini mempunyai perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi.

10. Faktor Resiko
Yang pasti belum di ketahui dengan jelas, namun banyak di jumpai di daerah pantai sehingga kemungkinan pencetusnya adalah adanya rangsangan dari udara panas, juga bagi orang yang sering berkendara motor tapa helm penutup atau kacamata pelindung, sehingga adanya rangsangan debu jalanan yang kotor bisa mengakibatkan timbunan lemak tersebut. Secara umum faktor resiko pterygium meliputi:
·    Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang beriklim subtropis dan tropis. Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah.
·    Faktor predisposisi genetika timbulnya pterygia cenderung pada keluarga tertentu. Kecenderungan laki-laki mengalami kasus ini lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, meskipun disini hasil temuan demikian ini lebih banyak disebabkan oleh peningkatan terkena sinar ultraviolet dalam kelompok populasi tertentu.
Gangguan yang lain yang mungkin ikut berperan yaitu berupa Pseudopterygia (misalnya disebabkan oleh bahan kimia atau luka bakar, trauma, penyakit kornea marginal). Neoplasma (misalnya karsinoma in situ yang menyebabkan konjungtiva perilimbal yang tidak meluas sampai ke kornea).

11. Penatalaksanaan
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterygium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Pengobatan pterygium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau pterygium yang telah menutupi media penglihatan.
Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor maka perlu kontrol 2 minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan dihentikan.

- Tindakan Operatif
Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan bila pterygium telah mengganggu penglihatan. Pterygium dapat tumbuh menutupi seluruh permukaan kornea atau bola mata.
Tindakan operasi, biasanya bedah kosmetik, akan dilakukan untuk mengangkat pterygium yang membesar ini apabila mengganggu fungsi penglihatan atau secara tetap meradang dan teriritasi. Paska operasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti penggunaan sinar radiasi B atau terapi lainnya.

Jenis Operasi pada Pterygium antara lain :
1    Bare Sklera
Pterygium diambil, lalu dibiarkan, tidak diapa-apakan. Tidak dilakukan untuk pterygium progresif karena dapat terjadi granuloma → granuloma diambil kemudian digraph dari amnion.
  Subkonjungtiva
Pterygium setelah diambil kemudian sisanya dimasukkan/disisipkan di bawah konjungtiva bulbi → jika residif tidak masuk kornea.
3    Graf
Pterygium setelah diambil lalu di-graf dari amnion/selaput mukosa mulut/konjungtiva forniks.
Tindakan pembedahan untuk eksisi pterygium biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anastesi topikal ataupun lokal, bila diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotika atau antiinflamasi.

- Kategori Terapi Medikamentosa
a.   Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata) untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air mata.

Nama obat
Merupakan obat tetes mata topikal atau air mata artifisial (air mata penyegar, Gen Teal (OTC)—air mata artifisial akan memberikan pelumasan pada permukaan mata pada pasien dengan permukaan kornea yang tak teratur dan lapisan permukaan air mata yang tak teratur. Keadaan ini banyak terjadi pada keadaan pterygium.
Dosis dewasa
1 gtt empat kali sehari dan prn untuk irritasi
Dosis anak-anak
Berikan seperti pada orang dewasa
Kontra indikasi
Bisa menyebabkan hipersensitivitas
Interaksi
Tak ada (tak pernah dilaporkan ada interaksi )
Untuk ibu hamil
Derajat keamanan A untuk ibu hamil
Perhatian
Bila gejala masih ada dan terus berlanjut pemakaiannya

b.  Salep untuk pelumas topikal – suatu pelumas yang lebih kental pada permukaan okular

Nama obat
Salep untuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M penyegar (OTC). Suatu pelumas yang lebih kental untuk permukaan mata. Sediaan ini cenderung menyebabkan kaburnya penglihatan sementara; oleh karena itu bahan ini sering dipergunakan pada malam hari.
Dosis obatnya
Pergunakan pada cul de sac inferior pada mata yang terserang. Hs
Dosis anak-anak
Sama dengan dewasa
Kontra indikasi
Bisa menyebabkan terjadinya hipersensitivitas
Interaksi
Tidak ada
Untuk ibu hamil
Tingkat keamanan A untuk ibu hamil
Perhatian
Karena menyebabkan kabur penglihatan sementara dan harus menghindari aktivitas yang memerlukan penglihatan jelas sampai kaburnya hilang.

c.   Obat tetes mata anti – inflamasi – untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat membantu dalam penatalaksanaan pterygium yang inflamasi dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular di dekat jejasnya.

Nama obat
Prednisolon asetat (Pred Forte 1%) – suatu suspensi kortikosteroid topikal yang dipergunakan untuk mengu-rangi inflamasi mata. Pemakaian obat ini harus dibatasi untuk mata dengan inflamasi yang sudah berat yang tak bisa disembuhkan dengan pelumas topikal lain.
Dosis dewasa
1 gtt empat kali sehari pada mata yang terserang, biasanya hanya 1- 2 minggu dengan terapi yang terus menerus.
Dosis anak-anak
Tidak boleh dipergunakan untuk anak-anak oleh karena kasus pterygia sangat jarang pada anak-anak
Kontra indikasi
Pasien dengan riwayat kasus herpes simpleks keratitis dentritis atau glaukoma steroid yang responsif.
Interaksi
Tak ada laporan interaksi
Kehamilan
Tingkat keamanan B, biasanya aman akan tetapi kegunaannya harus di perhitungkan dengan resiko yang di akibatkan
Perhatian
Bisa diserap secara sistemik akan tetapi efek samping sistemik biasanya tak diketemukan pada pasien yang mempergunakan obat tetes mataprednisolon asetat topikal , yang bisa diekskresi pada ASI yang sedang menyusui.

- Perawatan Lanjut pada Pasien Rawat Jalan
Sesudah operasi, eksisi pterygium, steroid topikal pemberiannya lebih di tingkatkan secara perlahan-lahan. Pasien pada steroid topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari permasalahan tekanan intraocular dan katarak.

- Pencegahan Kekambuhan Pterygium
Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.

12. Komplikasi
Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:
  • Penyimpangan atau pengurangan pusat penglihatan
  • Kemerahan
  • Iritasi
  • Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang belum dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi.
Komplikasi postooperasi pterygium meliputi:
  • Infeksi
  • Reaksi material jahitan
  • Diplopia
  • Conjungtival graft dehiscence
  • Corneal scarring
  • Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata perdarahan vitreous, atau retinal detachment.
Komplikasi akibat terlambat dilakukan operasi dengan radiasi beta pada pterygium adalah terjadinya pengenceran sclera dan kornea. Sebagian dari kasus ini dapat memiliki tingkat kesulitan untuk mengatur.

13. Prognosis
Eksisi pada pterygia pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur baik saat dipahami oleh pasien dan pada awal operasi pasien akan merasa terganggu setelah 48 jam pasca perawatan pasien bisa memulai aktivitasnya. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan pencangkokan, kedua-duanya dengan konjungtival limbal autografts atau selaput amniotic, pada pasien yang telah ditentukan. Pasien yang ada memiliki resiko tinggi pengembangan pterygia atau karena di perluas ekspose radiasi sinar ultraviolet, perlu untuk dididik penggunaan kacamata dan mengurangi ekspose mata dengan ultraviolet.



Daftar Pustaka
1.    Junqueira, L Carlos. 1998. Histologi Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2.   Coroneo MT, Di Girolamo N, Wakefield D: The Pathogenesis of Pterygium. Curr Opin Ophthalmol 1999 Aug; 10(4): 282-8 [Medline].
3.   Whitcher J.P., Pterygium, 2007, http://www.emedicine.com/EMERG/topic284.htm
4.  Ferrer F.J.G., Schwab I.R., Shetlar D.J., 2000. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology (16th edition), Mc Graw-Hill Companies, Inc., United States
5.   Ilyas S., 2005, Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
6.  Misbach J., 1999. Neuro-Oftalmologi Pemeriksaan Klinis dan Interpretasi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
7.   Hartono, 2005. Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. Jogjakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada


Minggu, 13 Februari 2011

Askep Klien Dengan Labio Palatoshcizis (Bibir Sumbing)

A.  Landasan Teori 

1.     Pengertian
Labio palatoshcizis atau sumbing bibir langitan adalah cacat bawaan berupa celah pada bibir atas, gusi, rahang dan langit-langit (Fitri Purwanto, 2001).
Labio palatoshcizis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut palato shcizis (sumbing palatum) labio shcizis (sumbing  pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya perkembangan embrio (Hidayat, 2005).
Labio palatoschizis adalah merupakan congenital anomaly yang berupa adanya kelainan bentuk pada wajah  ( Suryadi SKP, 2001).
Berdasarkan ketiga pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa labio palatoschizis adalah suatu kelainan congenital berupa celah pada bibir atas, gusi, rahang dan langit-langit yang terjadi akibat gagalnya perkembangan embrio.
 Palatoshcizis

2.     Patofisiologi
Penyebab utama bibir sumbing karena kekurangan seng dan karena menikah/kawin dengan saudara/kerabat. Bagi tubuh, seng sangat dibutuhkan enzim tubuh. Walau yang diperlukan sedikit, tapi jika kekurangan berbahaya. Sumber makanan yang mengandung seng antara lain : daging, sayur sayuran dan air. Di NTT airnya bahkan tidak mengandung seng sama sekali. Soal kawin antara kerabat atau saudara memang menjadi pemicu munculnya penyakit generatif, (keterununan) yang sebelumnya resesif. Kekurangan gizi lainya seperti kekurangan vit B6 dan B complek. Infeksi pada janin pada usia kehamilan muda, dan salah minum obat obatan/jamu juga bisa menyebabkan bibir sumbing.

Proses terjadinya labio palatoshcizis yaitu ketika kehamilan trimester I dimana terjadinya gangguan oleh karena beberapa penyakit seperti virus. Pada trimester I terjadi proses perkembangan pembentukan berbagai organ tubuh dan pada saat itu terjadi kegagalan dalam penyatuan atau pembentukan jaringan lunak atau tulang selama fase embrio.

Apabila terjadinya kegagalan dalam penyatuan proses nasal medical dan maxilaris maka dapat mengalami labio shcizis (sumbing bibir) dan proses penyatuan tersebut akan terjadi pada usia 6-8 minggu. Kemudian apabila terjadi kegagalan penyatuan pada susunan palato selama masa kehamilan 7-12 minggu, maka dapat mengakibatkan sumbing pada palato (palato shcizis).
3. Pemeriksaan Penunjang
1.    Tes pendengaran, bicara dan evaluasi.
2.      Laboratorium untuk persiapan operasi; Hb, Ht, leuko, BT, CT.
3.      Evaluasi ortodental dan prostontal dari mulai posisi gigi dan perubahan struktur dari orkumaxilaris.
4.      Konsultasi bedah plastik, ahli anak, ahli THT, ortodentisist, spech therapi.
5.      MRI

4.     Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tergantung pada kecacatan. Prioritas pertama antara lain pada tekhnik pemberian nutrisi yang adekuat untuk mencegah komplikasi, fasilitas pertumbuhan dan perkembangan.

Penanganan : bedah plastik yang bertujuan menutupi kelainan, mencegah kelainan, meningkatkan tumbuh kembang anak. Labio plasty dilakukan apabila sudah tercapai ”rules of overten” yaitu : umur diatas 10 minggu, BB diatas 10 ponds (± 5 kg), tidak ada infeksi mulut, saluran pernafasan unutk mendapatkan bibir dan hidung yang baik, koreksi hidung dilakukan pada operasi yang pertama. Palato plasty dilakukan pada umur 12-18 bulan, pada usia 15 tahun dilakukan terapi dengan koreksi-koreksi bedah plastik. Pada usia 7-8 tahun dilakukan ”bone skingraft”, dan koreksi dengan flap pharing. Bila terlalu awal  sulit karena rongga mulut kecil. Terlambat, proses bicara terganggu, tidak lanjutnya adalah pengaturan diet. Diet minum susu sesuai dengan kebutuhan klien.

5.    Konsep Tumbuh Kembang, Bermain, Nutrisi dan Dampak Hospitalisasi. 
 Dibawah ini akan diuraikan mengenai konsep tumbuh kembang, bermain, nutrisi dan dampak hospitalisasi pada anak yang berumur 5 tahun.
1. Pertumbuhan, menurut Whalley dan Wong (2000), mengemukakan pertumbuhan sebagai suatu peningkatan jumlah dan ukuran, hal ini merupakan suatu proses yang alamiah yang terjadi pada setiap individu, sedangkan Marlow (1998) mengemukakan pertumbuhan sebagai suatu peningkatan ukuran tubuh yang dapat diukur dengan meter atau sentimeter untuk tinggi badan dan kilogram atau gram untuk berat badan. Pertumbuhan pada anak usia 5 tahun pertumbuhan fisik khususnya berat badan mengalami kenaikan rata-rata per tahunnya adalah 2 Kg, kelihatan kurus akan tetapi aktifitas motorik tinggi, dimana sistem tubuh mencapai kematangan seperti berjalan, melompat, dan lain-lain. Pada pertumbuhan khususnya ukuran tinggi badan anak akan bertambah rata-rata 6,75 sampai 7,5 cm setiap tahunnya (Hidayat, 2006).

2. Perkembangan, perkembangan menitikberatkan pada perubahan yang terjadi secara bertahap dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang paling tinggi dan kompleks yang melalui maturasi dan pembelajaran. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak diantaranya faktor herediter, faktor lingkungan, dan faktor internal. Perkembangan psikoseksual, anak pada fase falik (3-6 tahun), selama fase ini genitalia menjadi area yang menarik dan area tubuh yang sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin, seringkali anak merasa penasaran dengan pertanyaan yang diajukannya. Dengan perbedaan ini anak sering meniru ibu atau bapaknya untuk memahami identitas gender (Freud). Pada masa ini anak mengalami proses perubahan dalam pola makan dimana anak pada umumnya mengalami kesulitan untuk makan. Proses eliminasi pada anak sudah menunjukkan proses kemandirian dan masa ini adalah masa dimana perkembangan kognitif sudah mulai menunjukkan perkembangan dan anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah yang terlihat sekali kemampuan anak belum mampu menilai sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat dan anak membutuhkan pengalaman belajar dengan lingkungan dan orang tuanya (Hidayat, 2006).

3. Nutrisi, nutrisi sangat penting untuk tumbuh dan berembang, anak membutuhkan zat gizi yang esensial mencakup protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan air yang harus dikonsumsi secara seimbang, dengan jumlah yang sesuai kebutuhan pada tahapan usianya. Kebutuhan cairan pada anak usia 5 tahun  yaitu 1600-1800cc/24 jam (Hidayat, 2006). Kebutuhan kalorinya adalah 85 kkal per kg BB,  Pada masa prasekolah kemampuan kemandirian dalam pemenuha kebutuhan nutrisi sudah mulai muncul, sehingga segala peralatan yang berhubungan dengan makanan seperti garpu, piring, sendok dan gelas semuanya harus dijalaskan pada anak atau doperkenalkan dan dilatih dalam penggunaannya, sehingga dapat mengikuti aturan yang ada. Dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi pada usia ini sebaiknya penyediaan bervariasi menunya untuk mencegah kebosanan, berikan susu dan makanan yang dianjurkan antara lain daging, sup, sayuran dan buah-buahan.

4. Bermain, bermain merupakan suatu aktifitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktikkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berprilaku dewasa. Pada usia 3-6 tahun anak sudah mulai mampu mengembangkan kreatifitas dan sosialisasi sehingga sangat diperlukan permainan yang dapat mengembangakan kemampuan menyamakan dan membedakan, kemampuan berbahasa, mengembangkan kecerdasan, menumbuhkan sportifitas, mengembangkan koordinasi motorik, mengembangkan dalam mengontrol emosi, motorik kasar dan halus, memperkenalkan pengertian yang bersifat ilmu pengetahuan dan memperkenalkan suasana kompetisi serta gotong royong. Sehingga jenis permainan yang dapat digunakan pada anak usia ini seperti benda-benda sekitar rumah, buku gambar, majalah anak-anak, alat-alat gambar, kertas untuk belajar melipat, gunting dan air.

5. Dampak Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu poroses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya sampai kembali kerumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan sterss. Perawatan anak dirumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakan amat, penuh kasih sayang, dan menanyakan, yaitu lingkungan rumah, permainan, dan teman sepermainannya. Reaksi terhadap perpisahan dengan menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Perawatan dirumah sakit juga membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya, anak merasa kehilangan kekuatan diri, malu, bersalah, atau takut.anak akan bereaksi agresif dengan marah dan berontak, tidak mau bekerjasama dengan perawat.


B. Asuhan Keperawatan

1.     Pengkajian
Pada klien dengan labio palato schiziz diperoleh data sebagai berikut (post op labio plasty) : perdarahan berlebihan akibat dari peregangan pada sisi insisi atau tanda infeksi. Pernafasan stridor, distres atau obstruksi, iritasi kulit dibawah restrein siku. Kemampuan terhadap tekhnik makanan.


2.      Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada klien labio palatoschizis menurut Fitri purwanto SKp adalah sebagai berikut :
1.      Perubahan nutrisi kurang dari kebetuhan tubuh atau tidak efektip dalam meneteki ASI, berhubungan dengan ketidak mampuan menelan/kesukaran dalam makan, sekunder dari kecacatan dan pembedahan.
2.      Risiko aspirasi, berhubungan dengan ketidakmampuan mengeluarkan sekresi sekunder dari palato schizis.
3.      Risiko infeksi berhubungan dengan kecacatan (sebelum operasi) dan atau insisi pembedahan.
4.      Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan tehnik pemberian makan, dan perawatan di rumah.
5.      Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
6.      Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan efek anastesi, edema setelah pembedahan, sekresi yang meningkat.
7.      Gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan.
8.      Perubahan proses keluarga berhubungan dengan tampak kecacatan pada anak.

3.   Perencanaan Keperawatan
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, maka perencanaan pada klien dengan labio palatoschizis menurut Fitri purwanto SKp Fitri purwanto SKp adalah sebagai berikut:
1.      Nutrisi yang adekuat dapat di pertahankan yang ditandai dengan adanya peningkatan berat badan dan adaptasi dengan metode makan yang sesuai.
2.      Anak akan bebas dari aspirasi
3.      Anak tidak menunjukan tanda tanda infeksi sebelum dan setelah operasi, luka tampak bersih, kering dan tidak edema.
4.      Orang tua dapat memahami dan dapat mendemonstrasikan dengan metode pemberian makan pada anak, pengobatan setelah pembedahan dan harapan perawatan sebelum dan setelah operasi
5.      Rasa nyaman anak dapat di pertahankan yang ditandai dengan anak tidak menangis, tidak labil dan tidak gelisah.
6.      Pada anak tidak ditemukan komplikasi sistem pernafasan yang ditandai dengan jalan nafas bersih dan pernafasan teratur dan bunyi paru vesikuler.
7.      Anak tidak memperlihatkan kerusakan pada kulit yang ditandai dengan insisi tetap utuh, tidak ada tanda infeksi dan terdapat tanda tanda penyembuhan.
8.      Orang tua sering melakukan bonding dengan anak yang ditandai dengan keinginan untuk merawat anak, dan mampu untuk mengidentifikasi aspek positif pada anak.

4.    Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan menurut Potter (2005), merupakan tindakan mandiri berdasarkan ilmiah, masuk akal dalam melaksanakan yang bermanfaat bagi klien yang diantisipasi berhubungan dengan diagnosa keperawatan dan tujuan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Tindakan keperawatan pada klien dapat berupa tindakan mandiri maupun tindakan kolaborasi. Dalam pelaksanaan tindakan, langkah-langkah yang dilakukan adalah mengkaji kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan, menentukan kebutuhan dan bantuan yang diberikan serta menetapkan strategi tindakan yang dilakukan. Selain itu juga dalam pelaksanaan tindakan, semua tindakan yang dilakukan pada klien dan respon klien pada setiap tindakan keperawatan didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Dalam pendokumentasian catatan keperawatan hal yang perlu didokumentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan dan respon klien serta diberi tanda tangan sebagai aspek legal dari dokumentasi yang dilakukan.

5.       Evaluasi Keperawatan
Evaluasi menurut Hidayat (2007), merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang mengukur seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai, berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi merupakan aspek penting didalam proses keperawatan, karena menghasilkan kesimpulan apakah intervensi keperawatan diakhiri atau ditinjau kembali atau dimodifikasi. Dalam evaluasi prinsip obyektifitas, reabilitas dan validitas dapat dipertahankan agar keputusan yang diambil tepat. Evaluasi proses keperawatan ada dua arah yaitu evaluasi proses (evaluasi formatif) dan evaluasi hasil (evaluasi sumatif). Evaluasi proses adalah evaluasi yang dilakukan segera setelah tindakan dilakukan dan didokumentasikan pada catatan keperawatan. Sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur sejauh mana pencapaian tujuan yang ditetapkan dan dilakukan pada akhir keperawatan
Sumber Referensi : http://askep-topbgt.blogspot.com