Berita yang beredar tentang bahan pengawet memang menyeramkan.  Konsumsi bahan pengawet bisa menyebabkan penyakit lupus, siapa yang  tidak khawatir? Belum lagi banyak kasak kusuk yang mengatakan, bahan  tambahan pangan (BTP), entah itu pengawet, pemanis, atau pewarna buatan,  bisa menyebabkan kanker.
Akhirnya, di benak banyak orang tertanam pikiran, semua bahan yang  mengandung bahan kimia lama-lama pasti akan menjadi racun. Benarkah?  Kalau benar, berarti betapa rusaknya moral para produsen makanan yang  dengan sengaja ‘meracuni’ masyarakat. Apalagi pemerintah yang  mengizinkan beredarnya makanan tersebut. Ah, sebelum sibuk menghakimi  orang lain, perkaya dulu wawasan Anda tentang bahan pengawet ini.
Harus diakui, ketika mendengar kata ‘kimia’ masih banyak orang yang  mengasosiasikannya dengan racun. Padahal, sebenarnya kimia tidaklah  seseram itu. Masyarakat memang sering rancu dengan kata ‘kimia’, dalam  arti bahan-bahan yang sifatnya reaktif dengan bahan kimia itu sendiri.  Bahan-bahan yang sifatnya reaktif itu merupakan senyawa kimia yang  secara alami terkandung dalam bahan pangan. Contohnya, natrium dan  klorida yang membentuk garam dapur serta hidrogen dan oksigen yang  membentuk air (H20).
Kalau membicarakan zat kimia yang digunakan sebagai bahan tambahan  pangan pengawet, sebagian besar memang dulunya diturunkan dari  temuan-temuan di alam. Misalnya, asam benzoat yang alami ditemukan pada  tanaman kelompok berry. Tetapi, untuk penggunaan secara massal, tidak  mungkin diekstrak dari buah, karena dalam buah ekstraknya sedikit  sekali. Jadi, zat pengawet yang sekarang digunakan dalam industri pangan  adalah hasil sintetis kimia.
Kalau begitu, amankah zat pengawet hasil sintetis kimia? Bisa ya,  bisa tidak. Tergantung bahan pengawet yang digunakan, kondisi dan tujuan  penggunaan, ketepatan dosis, serta siapa dan bagaimana konsumennya.  Jangankan bahan sintetis kimia, bahan yang alami pun kalau penggunaannya  berlebihan dan tidak pada tempatnya, juga bisa berbahaya. Misalnya,  konsumsi garam dan gula yang berlebih bisa menimbulkan gangguan  kesehatan. Padahal, garam dan gula merupakan bahan alami.
Lagipula, bahan pangan tanpa pengawet belum tentu lebih aman daripada  yang ditambahkan pengawet. Banyak bahan pangan yang sangat mudah rusak  atau busuk (perishable). Daging, ikan, susu, telur, sayuran, dan  buah-buahan termasuk dalam kelompok ini. Kerusakan bisa karena proses  metabolisme enzim atau mikroba.
Tercemarnya bahan pangan oleh mikroba tidak saja menimbulkan kerugian  secara ekonomis karena menjadi busuk dan tidak bisa dijual, tetapi juga  dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang tidak sepele. Bakteri-bakteri  seperti Salmonella, Shigella, E.coli, dan Staphylococcus aureus akan  mengakibatkan sakit perut, mual, muntah, dan diare berat, sampai  perdarahan. Sedangkan bakteri Clostridium botulinum dapat menyebabkan  gangguan sistem saraf serta kesulitan bernapas yang berakibat fatal.  Jamur pun berbahaya. Jamur yang tumbuh pada jagung mengeluarkan racun  alfatoksin yang bisa menyebabkan kanker hati.
Nah, demi meningkatkan keamanan pangan itulah, pengawetan atau  penambahan zat pengawet harus dilakukan. Bahkan, pada produk-produk yang  dikemas atau dikalengkan, penambahan pengawet pun tetap diperlukan.  Memang saat pengemasan dan pengalengan, produk tersebut biasanya sudah  melalui proses pengawetan. Namun, produk hanya akan awet selama kemasan  belum dibuka. Padahal, banyak produk, seperti selai, yang tidak akan  habis dalam sekali konsumsi. Supaya masih bisa disimpan setelah kemasan  dibuka, ditambahkanlah bahan pengawet.
Dengan pengawetan yang baik, mikroba pembusuk dan patogen dapat  dihancurkan, sehingga daya simpan menjadi lebih lama, kualitas dan nilai  gizinya bisa dipertahankan, pemasaran bisa diperluas, dan ketersediaan  produk pangan pun meningkat.
1. Dikaji dan dikaji 
Meski saat ini penggunaan bahan pengawet makanan cenderung tak  terhindarkan, bukan berarti bisa digunakan sebebas-bebasnya. Terlalu  ‘kreatif’ menggunakannya juga bisa membahayakan. Secara hukum kita punya  daftar bahan pengawet yang boleh digunakan yang dikeluarkan oleh Badan  Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Jadi, selama pengawetnya termasuk  dalam bahan yang diizinkan oleh BPOM, ya, berarti aman.
Tetapi, bukan berarti lolos pemeriksaan BPOM, maka akan seterusnya  begitu. Ada juga BTP pengawet yang sudah diizinkan, ternyata perlu  dikaji kembali. Semua tergantung perkembangan temuan ilmiah dan  kecepatan BPOM mengikuti perkembangan terbaru. Contoh bahan pengawet  yang dikaji ulang penggunaannya adalah nisin. Bahan yang mulanya  dianggap aman itu, kemudian dikhawatirkan memiliki sifat antibiotik,  karena merupakan sintesis dari bakteri.
Sejak ditemukan sampai keluar izin penggunaan satu bahan pengawet  oleh pihak berwenang, waktunya lumayan lama. Banyak tahap yang harus  dilalui. Misalnya, dicari temuan ilmiahnya apa saja, lalu dilakukan uji  coba toksisitas (racun) bertingkat-tingkat. Semakin jarang senyawa itu  ditemukan pada bahan pangan alami, semakin banyak uji toksisitas yang  harus dilalui. Hal ini bisa makan waktu enam bulan sampai puluhan tahun.
Di Indonesia, kebijakan regulasi BTP termasuk pengawet, selalu  melalui analisis risiko yang terdiri atas tiga tahap, yaitu pengkajian,  pengelolaan, dan komunikasi risiko. Setelah melalui semua tahap  tersebut, barulah bahan tambahan pangan pengawet yang diizinkan  penggunaannya oleh BPOM dikategorikan aman. Tentu saja asalkan  dikonsumsi sesuai ketentuan asupan harian yang diizinkan (acceptable  daity intake = ADI), yaitu jumlah bahan tambahan pangan per kilogram  berat badan, yang jika dikonsumsi setiap hari seumur hidup tidak akan  memberikan risiko bagi kesehatan.
Tetapi, perlu Anda ketahui, ADI ini hanya berlaku pada konsumen yang  sehat. Seseorang yang menderita asma berat bisa saja makin sesak napas,  kalau mengonsumsi produk yang mengandung nitrat atau nitrit. Padahal,  pada orang sehat konsumsi itu aman-aman saja.
Kandungan pengawet dalam suatu produk biasanya jauh di bawah batas  maksimum ADI. Jadi, dosis pengawetyang masuk ke tubuh tidak akan  melewati batas maksimum ADI, meski Anda mengonsumsi produk berpengawet  beberapa kali sehari, asalkan masih dalam batas normal atau tidak  berlebihan. Selain itu, Anda tak perlu khawatir terjadi akumulasi bahan  pengawet dalam tubuh, karena garam-garam pengawet yang lazim digunakan  di Indonesia, 95%-nya akan terbuang lewat urin.
Sayangnya, walau sudah ada peraturan yang jelas dan disosialisasikan  kepada produsen, di lapangan masih saja ada produsen curi-curi  kesempatan.  Berdasarkan peraturan menteri kesehatan, tiap jenis produk  ada dosis penggunaan bahan tambahan pangan. Misalnya, pada makanan bayi  dan minuman ringan, dosis penggunaan pengawetnya beda. Produsen kadang  tidak patuh pada hal-hal seperti itu.
Kadang ada produsen nakal. Ketika mendaftarkan ke BPOM, produk yang  diberikan tidak menggunakan pengawet atau menggunakan tetapi dosisnya  sesuai aturan. Setelah mendapat nomor registrasi dan produk dipasarkan,  barulah ditambahi pengawet. Jadi, di label tidak tertulis ada pengawet,  karena waktu registrasi memang tidak ada bahan pengawetnya.
Padahal, menurut UU Konsumen no. 8 tahun 1999, konsumen berhak  mendapat informasi yang benar dan jelas tentang suatu produk, berhak  mendapat jaminan keamanan dan keselamatan, dan berhak mendapat ganti  rugi, jika produk tidak sesuai dengan yang diklaim. Informasi yang benar  dan jelas tentang kandungan suatu produk sangat penting, karena ada  orang yang sensitif terhadap zat tertentu.
Celakanya, konsumen sulit mengetahui ada tidaknya kandungan bahan  pengawet pada produk serta berapa dosisnya. Ini karena BTP pengawet  tidak mempunyai kekhasan. Kalau terlalu banyak, paling-paling timbul  rasa getir. Tetapi, itu pun bisa tertutupi oleh rasa manis dari produk.
Untungnya, BPOM tidak tinggal diam. Post market evaluation dilakukan  sebagai tindakan pengawasan keamanan BTP. Setelah produk dipasarkan,  BPOM akan mengambil sampel produk di sarana distribusi untuk diuji  kembali. Produsen yang nakal akan mendapat peringatan dan bukan tak  mungkin produknya ditarik dari pasar.
2. Cerdas Menyikapi Bahan Pengawet
Biar tidak terlalu ketar ketir, tetapi juga tak salah langkah memillh  produk berpengawet, coba beberapa tips ini.
- Kalau tetap merasa kurang sreg dengan produk-produk yang diberi tambahan bahan pengawet, pilihlah produk dengan teknologi pengawatan lain, sepertl UHT, pengeringan, dan sebagainya.
- Sebaiknya jangan fobia dengan produk-produk yang mengandung pengawet. Yang penting, tercantum Jelas di label apa jenis pengawetnya.
- Konsumsilah produk dalam jumlah normal.
- Jangan mudah terkecoh dan bereaksl berlebihan terhadap isu-isu menyangkut BTP, karena masalah BTP memang rawan disusupi intrik. Mulai dari yang betul-betul untuk kepentingan keamanan konsumen, sampai kepentingan perdagangan dan politik.
- Konsumen harus kritis terhadap ‘cerita tragis’ yang beredar, apakah kejadiannya hanya satu kasus atau terjadi pada satu populasi.
- Cari informasi yang benar dari lembaga yang memang tepercaya, sehingga tidak mudah termakan isu-isu yang menyesatkan masyarakat.
3. Kenali Pengawet
Meski pada produk pangan yang Anda beli tercetak label ingredients,  seringkali terasa sia-sia membacanya, karena Anda tidak tahu mana yang  merupakan pengawet, pemanis, atau pewarna. Nah, jika menemukan salah  satu nama di bawah ini pada label, berarti produk tersebut mengandung  pengawet. Yang tercantum pada daftar adalah bahan pengawet yang  diizinkan penggunaannya dalam pangan, berdasarkan peraturan Menteri  Kesehatan Republik Indonesia, yaitu:
- asam benzoat (ADI: 0 – 5 mg/kg BB)
- asam propionat (ADI: tidak dinyatakan)
- asam sorbat (ADI: 0 – 25 mg/kg BB)
- kalium benzoat (ADI: 0 – 5 mg/kg BB)
- kalium bisulfit (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
- kalium metabisulfit (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
- kalium nitrat (ADI: 0 – 3.7 mg/kg BB)
- kalium nitrit (ADI: 0 – 0.07 mg/kg BB)
- kalium propionat (ADI: tidak dinyatakan)
- kalium sorbat (ADI: 0 – 25 mg/kg BB)
- kalium sulfit (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
- kalsium benzoat (ADI: 0 – 5 mg/kg BB)
- kalsium propionat (ADI: tidak dinyatakan)
- kalsium sorbat (ADI: 0 – 25 mg/kg BB)
- natrium benzoat (ADI: 0 – 5 mg/kg BB)
- natrium bisulfit (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
- natrium metabisulfit (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
- natrium nitrat (ADI: 0 – 3.7 mg/kg BB)
- natrium nitrit (ADI: 0 – 0.07 mg/kg BB)
- natrium propionat (ADI: tidak dinyatakan)
- natrium sulfit (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
- belerang dioksida (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
- etil-p-hidroksibenzoat (ADI: 0 -10 mg/kg BB)
- metil-p-hidroksibenzoat (ADI: 0 -10 mg/kg BB)
- propil-p-hidroksibenzoat (ADI: 0 -10 mg/kg BB)
Sumber : http://pelangiku.com
 






0 Komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak, Semoga dapat memberi wawasan yang lebih bermanfaat!