Selasa, 15 Maret 2011

Cerdas Menyikapi Bahan Pengawet Pada Makanan


Berita yang beredar tentang bahan pengawet memang menyeramkan. Konsumsi bahan pengawet bisa menyebabkan penyakit lupus, siapa yang tidak khawatir? Belum lagi banyak kasak kusuk yang mengatakan, bahan tambahan pangan (BTP), entah itu pengawet, pemanis, atau pewarna buatan, bisa menyebabkan kanker.

Akhirnya, di benak banyak orang tertanam pikiran, semua bahan yang mengandung bahan kimia lama-lama pasti akan menjadi racun. Benarkah? Kalau benar, berarti betapa rusaknya moral para produsen makanan yang dengan sengaja ‘meracuni’ masyarakat. Apalagi pemerintah yang mengizinkan beredarnya makanan tersebut. Ah, sebelum sibuk menghakimi orang lain, perkaya dulu wawasan Anda tentang bahan pengawet ini.
Harus diakui, ketika mendengar kata ‘kimia’ masih banyak orang yang mengasosiasikannya dengan racun. Padahal, sebenarnya kimia tidaklah seseram itu. Masyarakat memang sering rancu dengan kata ‘kimia’, dalam arti bahan-bahan yang sifatnya reaktif dengan bahan kimia itu sendiri. Bahan-bahan yang sifatnya reaktif itu merupakan senyawa kimia yang secara alami terkandung dalam bahan pangan. Contohnya, natrium dan klorida yang membentuk garam dapur serta hidrogen dan oksigen yang membentuk air (H20).

Kalau membicarakan zat kimia yang digunakan sebagai bahan tambahan pangan pengawet, sebagian besar memang dulunya diturunkan dari temuan-temuan di alam. Misalnya, asam benzoat yang alami ditemukan pada tanaman kelompok berry. Tetapi, untuk penggunaan secara massal, tidak mungkin diekstrak dari buah, karena dalam buah ekstraknya sedikit sekali. Jadi, zat pengawet yang sekarang digunakan dalam industri pangan adalah hasil sintetis kimia.

Kalau begitu, amankah zat pengawet hasil sintetis kimia? Bisa ya, bisa tidak. Tergantung bahan pengawet yang digunakan, kondisi dan tujuan penggunaan, ketepatan dosis, serta siapa dan bagaimana konsumennya. Jangankan bahan sintetis kimia, bahan yang alami pun kalau penggunaannya berlebihan dan tidak pada tempatnya, juga bisa berbahaya. Misalnya, konsumsi garam dan gula yang berlebih bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Padahal, garam dan gula merupakan bahan alami.

Lagipula, bahan pangan tanpa pengawet belum tentu lebih aman daripada yang ditambahkan pengawet. Banyak bahan pangan yang sangat mudah rusak atau busuk (perishable). Daging, ikan, susu, telur, sayuran, dan buah-buahan termasuk dalam kelompok ini. Kerusakan bisa karena proses metabolisme enzim atau mikroba.

Tercemarnya bahan pangan oleh mikroba tidak saja menimbulkan kerugian secara ekonomis karena menjadi busuk dan tidak bisa dijual, tetapi juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang tidak sepele. Bakteri-bakteri seperti Salmonella, Shigella, E.coli, dan Staphylococcus aureus akan mengakibatkan sakit perut, mual, muntah, dan diare berat, sampai perdarahan. Sedangkan bakteri Clostridium botulinum dapat menyebabkan gangguan sistem saraf serta kesulitan bernapas yang berakibat fatal. Jamur pun berbahaya. Jamur yang tumbuh pada jagung mengeluarkan racun alfatoksin yang bisa menyebabkan kanker hati.

Nah, demi meningkatkan keamanan pangan itulah, pengawetan atau penambahan zat pengawet harus dilakukan. Bahkan, pada produk-produk yang dikemas atau dikalengkan, penambahan pengawet pun tetap diperlukan. Memang saat pengemasan dan pengalengan, produk tersebut biasanya sudah melalui proses pengawetan. Namun, produk hanya akan awet selama kemasan belum dibuka. Padahal, banyak produk, seperti selai, yang tidak akan habis dalam sekali konsumsi. Supaya masih bisa disimpan setelah kemasan dibuka, ditambahkanlah bahan pengawet.

Dengan pengawetan yang baik, mikroba pembusuk dan patogen dapat dihancurkan, sehingga daya simpan menjadi lebih lama, kualitas dan nilai gizinya bisa dipertahankan, pemasaran bisa diperluas, dan ketersediaan produk pangan pun meningkat.

1. Dikaji dan dikaji
Meski saat ini penggunaan bahan pengawet makanan cenderung tak terhindarkan, bukan berarti bisa digunakan sebebas-bebasnya. Terlalu ‘kreatif’ menggunakannya juga bisa membahayakan. Secara hukum kita punya daftar bahan pengawet yang boleh digunakan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Jadi, selama pengawetnya termasuk dalam bahan yang diizinkan oleh BPOM, ya, berarti aman.

Tetapi, bukan berarti lolos pemeriksaan BPOM, maka akan seterusnya begitu. Ada juga BTP pengawet yang sudah diizinkan, ternyata perlu dikaji kembali. Semua tergantung perkembangan temuan ilmiah dan kecepatan BPOM mengikuti perkembangan terbaru. Contoh bahan pengawet yang dikaji ulang penggunaannya adalah nisin. Bahan yang mulanya dianggap aman itu, kemudian dikhawatirkan memiliki sifat antibiotik, karena merupakan sintesis dari bakteri.

Sejak ditemukan sampai keluar izin penggunaan satu bahan pengawet oleh pihak berwenang, waktunya lumayan lama. Banyak tahap yang harus dilalui. Misalnya, dicari temuan ilmiahnya apa saja, lalu dilakukan uji coba toksisitas (racun) bertingkat-tingkat. Semakin jarang senyawa itu ditemukan pada bahan pangan alami, semakin banyak uji toksisitas yang harus dilalui. Hal ini bisa makan waktu enam bulan sampai puluhan tahun.
Di Indonesia, kebijakan regulasi BTP termasuk pengawet, selalu melalui analisis risiko yang terdiri atas tiga tahap, yaitu pengkajian, pengelolaan, dan komunikasi risiko. Setelah melalui semua tahap tersebut, barulah bahan tambahan pangan pengawet yang diizinkan penggunaannya oleh BPOM dikategorikan aman. Tentu saja asalkan dikonsumsi sesuai ketentuan asupan harian yang diizinkan (acceptable daity intake = ADI), yaitu jumlah bahan tambahan pangan per kilogram berat badan, yang jika dikonsumsi setiap hari seumur hidup tidak akan memberikan risiko bagi kesehatan.

Tetapi, perlu Anda ketahui, ADI ini hanya berlaku pada konsumen yang sehat. Seseorang yang menderita asma berat bisa saja makin sesak napas, kalau mengonsumsi produk yang mengandung nitrat atau nitrit. Padahal, pada orang sehat konsumsi itu aman-aman saja.

Kandungan pengawet dalam suatu produk biasanya jauh di bawah batas maksimum ADI. Jadi, dosis pengawetyang masuk ke tubuh tidak akan melewati batas maksimum ADI, meski Anda mengonsumsi produk berpengawet beberapa kali sehari, asalkan masih dalam batas normal atau tidak berlebihan. Selain itu, Anda tak perlu khawatir terjadi akumulasi bahan pengawet dalam tubuh, karena garam-garam pengawet yang lazim digunakan di Indonesia, 95%-nya akan terbuang lewat urin.

Sayangnya, walau sudah ada peraturan yang jelas dan disosialisasikan kepada produsen, di lapangan masih saja ada produsen curi-curi kesempatan.  Berdasarkan peraturan menteri kesehatan, tiap jenis produk ada dosis penggunaan bahan tambahan pangan. Misalnya, pada makanan bayi dan minuman ringan, dosis penggunaan pengawetnya beda. Produsen kadang tidak patuh pada hal-hal seperti itu.

Kadang ada produsen nakal. Ketika mendaftarkan ke BPOM, produk yang diberikan tidak menggunakan pengawet atau menggunakan tetapi dosisnya sesuai aturan. Setelah mendapat nomor registrasi dan produk dipasarkan, barulah ditambahi pengawet. Jadi, di label tidak tertulis ada pengawet, karena waktu registrasi memang tidak ada bahan pengawetnya.

Padahal, menurut UU Konsumen no. 8 tahun 1999, konsumen berhak mendapat informasi yang benar dan jelas tentang suatu produk, berhak mendapat jaminan keamanan dan keselamatan, dan berhak mendapat ganti rugi, jika produk tidak sesuai dengan yang diklaim. Informasi yang benar dan jelas tentang kandungan suatu produk sangat penting, karena ada orang yang sensitif terhadap zat tertentu.

Celakanya, konsumen sulit mengetahui ada tidaknya kandungan bahan pengawet pada produk serta berapa dosisnya. Ini karena BTP pengawet tidak mempunyai kekhasan. Kalau terlalu banyak, paling-paling timbul rasa getir. Tetapi, itu pun bisa tertutupi oleh rasa manis dari produk.

Untungnya, BPOM tidak tinggal diam. Post market evaluation dilakukan sebagai tindakan pengawasan keamanan BTP. Setelah produk dipasarkan, BPOM akan mengambil sampel produk di sarana distribusi untuk diuji kembali. Produsen yang nakal akan mendapat peringatan dan bukan tak mungkin produknya ditarik dari pasar.

2. Cerdas Menyikapi Bahan Pengawet
Biar tidak terlalu ketar ketir, tetapi juga tak salah langkah memillh produk berpengawet, coba beberapa tips ini.
  1. Kalau tetap merasa kurang sreg dengan produk-produk yang diberi tambahan bahan pengawet, pilihlah produk dengan teknologi pengawatan lain, sepertl UHT, pengeringan, dan sebagainya.
  2. Sebaiknya jangan fobia dengan produk-produk yang mengandung pengawet. Yang penting, tercantum Jelas di label apa jenis pengawetnya.
  3. Konsumsilah produk dalam jumlah normal.
  4. Jangan mudah terkecoh dan bereaksl berlebihan terhadap isu-isu menyangkut BTP, karena masalah BTP memang rawan disusupi intrik. Mulai dari yang betul-betul untuk kepentingan keamanan konsumen, sampai kepentingan perdagangan dan politik.
  5. Konsumen harus kritis terhadap ‘cerita tragis’ yang beredar, apakah kejadiannya hanya satu kasus atau terjadi pada satu populasi.
  6. Cari informasi yang benar dari lembaga yang memang tepercaya, sehingga tidak mudah termakan isu-isu yang menyesatkan masyarakat.
3. Kenali Pengawet
Meski pada produk pangan yang Anda beli tercetak label ingredients, seringkali terasa sia-sia membacanya, karena Anda tidak tahu mana yang merupakan pengawet, pemanis, atau pewarna. Nah, jika menemukan salah satu nama di bawah ini pada label, berarti produk tersebut mengandung pengawet. Yang tercantum pada daftar adalah bahan pengawet yang diizinkan penggunaannya dalam pangan, berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, yaitu:
  1. asam benzoat (ADI: 0 – 5 mg/kg BB)
  2. asam propionat (ADI: tidak dinyatakan)
  3. asam sorbat (ADI: 0 – 25 mg/kg BB)
  4. kalium benzoat (ADI: 0 – 5 mg/kg BB)
  5. kalium bisulfit (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
  6. kalium metabisulfit (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
  7. kalium nitrat (ADI: 0 – 3.7 mg/kg BB)
  8. kalium nitrit (ADI: 0 – 0.07 mg/kg BB)
  9. kalium propionat (ADI: tidak dinyatakan)
  10. kalium sorbat (ADI: 0 – 25 mg/kg BB)
  11. kalium sulfit (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
  12. kalsium benzoat (ADI: 0 – 5 mg/kg BB)
  13. kalsium propionat (ADI: tidak dinyatakan)
  14. kalsium sorbat (ADI: 0 – 25 mg/kg BB)
  15. natrium benzoat (ADI: 0 – 5 mg/kg BB)
  16. natrium bisulfit (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
  17. natrium metabisulfit (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
  18. natrium nitrat (ADI: 0 – 3.7 mg/kg BB)
  19. natrium nitrit (ADI: 0 – 0.07 mg/kg BB)
  20. natrium propionat (ADI: tidak dinyatakan)
  21. natrium sulfit (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
  22. belerang dioksida (ADI: 0 – 0.7 mg/kg BB)
  23. etil-p-hidroksibenzoat (ADI: 0 -10 mg/kg BB)
  24. metil-p-hidroksibenzoat (ADI: 0 -10 mg/kg BB)
  25. propil-p-hidroksibenzoat (ADI: 0 -10 mg/kg BB)


Sumber : http://pelangiku.com


0 Komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak, Semoga dapat memberi wawasan yang lebih bermanfaat!