Penderita Penyakit Rinoskleroma
1. Definisi
Rinoskleroma adalah penyakit menahun granulomatosa yang bersifat progresif, mengenai traktus respiratorius bagian atas terutama hidung. Penyakit ini ditandai dengan penyempitan rongga hidung sampai penyumbatan oleh suatu jaringan granulomatosa yang keras serta dapat meluas ke nasofaring, orofaring, subglotis, trakea dan bronkus. Rinoskleroma disebabkan oleh bacilus gram negatif (Klebsiella rhinoscleromatis).
Penyakit ini pertama kali digambarkan oleh Von Hebra (1870). Mikulitz menemukan sel-sel yang dianggap khas untuk penyakit ini dan Von Frisch menemukan basil jenis Klebsiella yang dianggap sebagai penyebab penyakit ini. Infeksi biasanya dimulai dari bagian anterior hidung sebagai plak submukosa yang lembut, meluas secara bertahap menjadi nodul padat yang tidak sensitif, dan dalam beberapa tahun akan mengisi dan menyumbat hidung. Bila tidak diterapi akan meluas ke bibir atas dan hidung bawah sehingga menimbulkan deformitas yang luas.
2. Insiden
Rinoskleroma merupakan penyakit endemik, di Indonesia terutama di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali. Belum ada cara penanggulangan yang tepat dan memuaskan untuk penyakit ini sampai sekarang. Rinoskleroma adalah penyakit yang jarang di Amerika Serikat dan Inggris, tapi endemik di beberapa negara di Asia, Amerika, Eropa dan Afrika. Di Indonesia, rinoskleroma telah dilaporkan sejak sebelum perang dunia ke dua. Kasus pertama ditemukan oleh Snigders dan Stoll (1918) di Sumatera Utara. Dilaporkan banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali. Pengobatan meliputi medikamentosa, radiasi dan pembedahan, namun sampai sekarang belum ada cara tepat yang memberikan hasil memuaskan.
Rinoskleroma dapat mengenai semua usia, tetapi sering pada dewasa muda. Kebanyakan penderita ditemukan pada dekade dua dan tiga. Penyakit ini sering dijumpai pada sosial ekonomi yang rendah, lingkungan hidup yang tidak sehat dan gizi yang jelek. Belinoff melaporkan 94,5% terdapat pada golongan pekerja kasar seperti petani. Fisher menyatakan tidak ada perbedaan yang nyata antara laki-laki dan perempuan.
Penyakit ini merupakan penyakit endemik di Polandia, Cekoslovakia, Rumania, Rusia, Ukraina, Guatemala, Salvador, Kolumbia, Mesir, Uganda, Nigeria, India, Philipina dan Indonesia. Di Indonesia banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.
Penyakit ini merupakan penyakit endemik di Polandia, Cekoslovakia, Rumania, Rusia, Ukraina, Guatemala, Salvador, Kolumbia, Mesir, Uganda, Nigeria, India, Philipina dan Indonesia. Di Indonesia banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.
3. Etiologi
Rinoskleroma disebabkan oleh Klebsiela rhinoskleromatis yang merupakan basil Gram negatif. Penyakit ini juga dihubungkan dengan AIDS dan defisiensi sel T.
4. Histopatologi
Penyakit rinoskleroma adalah penyakit radang menahun granulomatosa dari submukosa dengan gambaran histopatologis yang khas, berupa hiperplasi dan hipertrofi epitel permukaan, jaringan ikat di bawah epitel berbentuk trabekula dan di infiltrasi oleh sel-sel besar dengan vakuola pada sitoplasma. Sel-sel ini mempunyai inti di tepi dan di dalam vakuola terdapat banyak basil berbentuk batang yang kemudian dikenal sebagai basil dari Von Frisch. Di samping itu terdapat pula sebukan sel-sel plasma, limfosit dan histiosit.
Sel-sel besar dengan vakuola dan basil-basil tersebut kemudian dikenal dengan sel-sel dari Mikulicz. Sel-sel ini menurut Fischer dan Hoffman penting dalam menegakkan diagnosis penyakit rinoskleroma. Toppozada mengemukakan bahwa sel ini berasal dari sel-sel plasma yang banyak terdapat pada penyakit ini.
Secara histopatologis penyakit ini terdiri dari tiga stadia; yang menunjukkan gambaran khas adalah stadium granulomatosa:
- Stadium kataral/atropik. Metaplasi skuamosa dan infiltrasi subepitel nonspesifik dari sel PMN dengan jaringan granulasi.
- Stadium granulomatosa. Gambaran diagnostik ditemukan pada stadium ini berupa sel radang kronik, Russel body, hiperplasi pseudo epiteliomatosa, histiosit besar bervakuola yang mengandung Klebsiella rhinoskleromatis (Mikulicz sel).
- Stadium sklerotik. Fibrosis yang luas, yang menyebabkan stenosis dan kelainan bentuk.
5. Manifestasi Klinis
Gejala tergantung pada area, perluasan dan lamanya penyakit. Di hidung dapat dibedakan menjadi tiga stadium:
a. Stadium I (Kataralis, Atrofi, Eksudasi)
Ditemukan pada usia sekolah. Gambaran penyakit pada stadium ini tidak khas, sering seperti rinitis biasa. Dimulai dengan cairan hidung encer, sakit kepala, sumbatan hidung yang berkepanjangan, kemudian diikuti cairan mukopurulen berbau busuk; dapat terjadi gangguan penciuman.
b. Stadium II (Granulomatous, Infiltratif, Noduler)
Ditandai dengan hilangnya gejala rinitis. Terjadi pertumbuhan yang disebut nodular submucous infiltration di mukosa hidung yang tampak sebagai tuberkel di permukaan hidung. Lama-lama tuberkel ini bergabung menjadi satu massa noduler yang sangat besar, mudah berdarah, kemerahan, tertutup mukosa dengan konsistensi padat seperti tulang rawan. Kemudian terjadi invasi, dapat ke arah posterior (nasofaring) maupun ke depan (nares anterior).
c. Stadium III (Skleromatous, Stenosis, Sikatrik)
Massa secara perlahan-lahan menjadi avaskuler dan terjadi fibronisasi yang diikuti oleh adhesi struktur jaringan lunak, kontraksi jaringan yang akhirnya membentuk jaringan parut dan penyempitan jalan nafas. Pada stadium ini sel-sel Mikulicz sulit ditemukan. Proses yang sama dapat terjadi pada mulut, faring, laring, trakea dan bronkus.
Keluhan penderita sesuai dengan stadiumnya. Pada stadium I, hanya pilek yang tidak mau sembuh dengan pengobatan biasa. Lebih lanjut rongga hidung mulai dipenuhi krusta yang menyebabkan hidung tersumbat dan berbau busuk serta mukosa hidung menjadi kemerahan. Pada stadium II, di samping keluhan hidung tersumbat juga sering terjadi perdarahan dari hidung. Pada stadium ini biasanya penyakit mudah dikenali. Dari pemeriksaan, kavum nasi dipenuhi oleh jaringan yang mudah berdarah, kemerahan, konsistensi padat, permukaan licin tanpa ulkus. Pada stadium ini penyakit mudah meluas sampai ke traktus respiratorius bagian bawah. Stadium III adalah stadium yang sudah tenang dengan keluhan dan gejala dari sisa kelainan yang menetap akibat proses sikatrisasi dan kontraksi konsentrik jaringan granulomatosa yang mengeras.
6. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang meliputi: rinoskopi anterior/posterior, laringoskopi indirek/direk dan bronkoskopi, ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti radiologi, bakteriologi, histopatologi, serologi (test komplemen fiksasi, test aglutinasi) dan imunokimia.
7. Diagnosis Banding
Gejala tergantung pada area, perluasan dan lamanya penyakit. Di hidung dapat dibedakan menjadi tiga stadium:
a. Stadium I (Kataralis, Atrofi, Eksudasi)
Ditemukan pada usia sekolah. Gambaran penyakit pada stadium ini tidak khas, sering seperti rinitis biasa. Dimulai dengan cairan hidung encer, sakit kepala, sumbatan hidung yang berkepanjangan, kemudian diikuti cairan mukopurulen berbau busuk; dapat terjadi gangguan penciuman.
b. Stadium II (Granulomatous, Infiltratif, Noduler)
Ditandai dengan hilangnya gejala rinitis. Terjadi pertumbuhan yang disebut nodular submucous infiltration di mukosa hidung yang tampak sebagai tuberkel di permukaan hidung. Lama-lama tuberkel ini bergabung menjadi satu massa noduler yang sangat besar, mudah berdarah, kemerahan, tertutup mukosa dengan konsistensi padat seperti tulang rawan. Kemudian terjadi invasi, dapat ke arah posterior (nasofaring) maupun ke depan (nares anterior).
c. Stadium III (Skleromatous, Stenosis, Sikatrik)
Massa secara perlahan-lahan menjadi avaskuler dan terjadi fibronisasi yang diikuti oleh adhesi struktur jaringan lunak, kontraksi jaringan yang akhirnya membentuk jaringan parut dan penyempitan jalan nafas. Pada stadium ini sel-sel Mikulicz sulit ditemukan. Proses yang sama dapat terjadi pada mulut, faring, laring, trakea dan bronkus.
Keluhan penderita sesuai dengan stadiumnya. Pada stadium I, hanya pilek yang tidak mau sembuh dengan pengobatan biasa. Lebih lanjut rongga hidung mulai dipenuhi krusta yang menyebabkan hidung tersumbat dan berbau busuk serta mukosa hidung menjadi kemerahan. Pada stadium II, di samping keluhan hidung tersumbat juga sering terjadi perdarahan dari hidung. Pada stadium ini biasanya penyakit mudah dikenali. Dari pemeriksaan, kavum nasi dipenuhi oleh jaringan yang mudah berdarah, kemerahan, konsistensi padat, permukaan licin tanpa ulkus. Pada stadium ini penyakit mudah meluas sampai ke traktus respiratorius bagian bawah. Stadium III adalah stadium yang sudah tenang dengan keluhan dan gejala dari sisa kelainan yang menetap akibat proses sikatrisasi dan kontraksi konsentrik jaringan granulomatosa yang mengeras.
6. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang meliputi: rinoskopi anterior/posterior, laringoskopi indirek/direk dan bronkoskopi, ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti radiologi, bakteriologi, histopatologi, serologi (test komplemen fiksasi, test aglutinasi) dan imunokimia.
7. Diagnosis Banding
- Proses infeksi granulomatosa: 1) Bakteri: Tuberkulosis, Sifilis, Lepra. 2) Jamur: Histoplasmosis, Blastomikosis, Sporotrikosis, Koksidioidomikosis. 3) Parasit: Leismaniasis mukokutaneus
- Sarkoidosis
- Wegener granulomatosis
8. Penatalaksanaan
Meliputi : medikamentosa, radiasi dan tindakan bedah; namun sampai sekarang belum ada cara yang tepat dan memuaskan.
Meliputi : medikamentosa, radiasi dan tindakan bedah; namun sampai sekarang belum ada cara yang tepat dan memuaskan.
- Medikamentosa. Antibiotik sangat berguna jika hasil kultur positif, tetapi kurang berharga pada stadium sklerotik. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain: Streptomisin (0,5-1g/hari), Tetrasiklin (1-2g/hari), Rifampisin (450mg/hari), Khloramphenikol, Siprofloksasin, Klofazimin. Terapi antibiotik diberikan selama 4-6 minggu dan dilanjutkan sampai dua kali hasil pemeriksaan kultur negatif. Rolland menggunakan kombinasi Streptomisin dan Tetrasiklin dengan hasil yang memuaskan. Steroid dapat diberikan untuk mencegah sikatrik pada stadium granulomatosa.
- Radiasi. Terapi radiasi pernah diberikan oleh Massod, tetapi hasilnya belum memuaskan.
- Dilatasi. Cara dilatasi dapat dicoba untuk melebarkan kavum nasi dan nasofaring terutama bila belum terjadi sumbatan total.
- Pembedahan. Tindakan ini dilakukan pada jaringan skleroma yang terbatas di dalam rongga hidung, sehingga pengangkatan dapat dikerjakan dengan mudah secara intranasal. Jika terjadi sumbatan jalan nafas (seperti pada skleroma laring) harus dilakukan trakeostomi.
9. Komplikasi
Komplikasi dapat timbul akibat perluasan penyakit ke:
Komplikasi dapat timbul akibat perluasan penyakit ke:
- Organ sekitar hidung: Sinus paranasal, Saluran lakrimal, (dakrioskleroma), Orbita, proptosis, kebutaan, Telinga bagian tengah (otoskleroma), Palatum mole, uvula, orofaring
- Laring, sering timbul di daerah subglotik yang mengakibatkan kesukaran bernafas, asfiksia dan kematian.
- Saluran nafas bawah: sumbatan trakeobronkial, atelektasis paru.
- Intrakranial
Di samping akibat perluasan penyakit, komplikasi dapat juga timbul berupa perdarahan (pada stadium granulomatosa) dan berdegenerasi maligna.
Daftar Pustaka
Pranowo S, Ahmad M, Wiratno dkk. Rinoskleroma di RS. Dr. Kariadi Semarang. Dalam Kumpulan naskah lengkap ilmiah KONAS VII PERHATI. Surabaya, Agustus. 1983; h.457-66.
Hilger PA. Penyakit hidung. Dalam Boies (ed). Buku Ajar penyakit THT. Ed VI. EGC. Jakarta, 1997. h.210.
Wilson WR, Montgomery WW. Infectious disease of the paranasal sinuses. In: Otolaringology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; p.1851-52.
Balenger JJ. Granuloma kronis pada muka, hidung, faring dan telinga. Dalam: Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Jilid I. ed 13. Binarupa Aksara. Jakarta, 1994; h.368-70.
Suardana W, Masna PW, Tjekeg M dkk. Beberapa aspek penyakit rinoskleroma di bagian THT FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Dalam: Kumpulan Naskah KONAS VI PERHATI. Medan, Juli. 1980; h.128-34.
Desasouza S, Chitale A. Scleroma. In XVI World Congress of Otorhinolaringology head and neck surgery. Vol 1. Monduzzi. Sydney: March. 1997; p.603-7.
Ramalingam KK, Sreemamoorthy B. Infections of the nose. In A Short Practice of Otolaryngology. ed I India: All India Publishers. 1993; p.208-9.
Wein N. Infective rhinitis and sinusitis. In Scott-Brown’s Otolaryngol¬ogy. Vol IV. Ed VI. Butterworth-Heinemann. Great Britain: 1997; h 4/8/34-35
Colman BH. Diseases of the nasal cavity. In: Diseases of the nose, throat and ear and head and neck. ed IV. Longman Singapore Publ. 1990; p.40.
Fried MP, Shapiro J. Acute and chronic laryngeal infections. In Otolaryngology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; h.2245-56.
Becker W, Nauman HH, Pfaltz CR. Ear, nose and throat diseases. Ed II. New York: Thieme medical publishers inc. 1993; p.206-7.
Maran AGD. Benign Tumours and Granulomas in Nose, Throat and Ear. Ed X. PG Publishing. 1990; p.61.
Pranowo S, Ahmad M, Wiratno dkk. Rinoskleroma di RS. Dr. Kariadi Semarang. Dalam Kumpulan naskah lengkap ilmiah KONAS VII PERHATI. Surabaya, Agustus. 1983; h.457-66.
Hilger PA. Penyakit hidung. Dalam Boies (ed). Buku Ajar penyakit THT. Ed VI. EGC. Jakarta, 1997. h.210.
Wilson WR, Montgomery WW. Infectious disease of the paranasal sinuses. In: Otolaringology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; p.1851-52.
Balenger JJ. Granuloma kronis pada muka, hidung, faring dan telinga. Dalam: Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Jilid I. ed 13. Binarupa Aksara. Jakarta, 1994; h.368-70.
Suardana W, Masna PW, Tjekeg M dkk. Beberapa aspek penyakit rinoskleroma di bagian THT FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Dalam: Kumpulan Naskah KONAS VI PERHATI. Medan, Juli. 1980; h.128-34.
Desasouza S, Chitale A. Scleroma. In XVI World Congress of Otorhinolaringology head and neck surgery. Vol 1. Monduzzi. Sydney: March. 1997; p.603-7.
Ramalingam KK, Sreemamoorthy B. Infections of the nose. In A Short Practice of Otolaryngology. ed I India: All India Publishers. 1993; p.208-9.
Wein N. Infective rhinitis and sinusitis. In Scott-Brown’s Otolaryngol¬ogy. Vol IV. Ed VI. Butterworth-Heinemann. Great Britain: 1997; h 4/8/34-35
Colman BH. Diseases of the nasal cavity. In: Diseases of the nose, throat and ear and head and neck. ed IV. Longman Singapore Publ. 1990; p.40.
Fried MP, Shapiro J. Acute and chronic laryngeal infections. In Otolaryngology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; h.2245-56.
Becker W, Nauman HH, Pfaltz CR. Ear, nose and throat diseases. Ed II. New York: Thieme medical publishers inc. 1993; p.206-7.
Maran AGD. Benign Tumours and Granulomas in Nose, Throat and Ear. Ed X. PG Publishing. 1990; p.61.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak, Semoga dapat memberi wawasan yang lebih bermanfaat!