Jumat, 18 Maret 2011

Bunuh Diri, Tren Melarikan Diri dari Masalah

2434344182_7c2ce6a109 
Fenomena bunuh diri bukanlah hal yang baru maupun jarang muncul dalam masyarakat, bahkan tindakan yang membuat bulu kuduk berdiri ini telah menempatkan dirinya menjadi fenomena yang sama tuanya dengan ras manusia di bumi (Perlin, 1975). Di Jakarta sendiri sepanjang tahun 1995-2004 kasus bunuh diri mencapai 5,8% per 100 ribu penduduk, yang kebanyakan pelakunya adalah laki-laki (http://www.vhrmedia.com).

Jika kita merujuk kepada teori survival of the fittest dari evolusi yang dikemukakan Darwin, bunuh diri merupakan deviasi dari hukum bertahan hidup. Evolusi mengharuskan setiap makhluk hidup untuk menempatkan posisinya (baca: eksistensi) walaupun terkadang diperlukan perubahan bentuk dan fungsi, sehingga yang ‘kalah’ akan punah dari muka bumi. 

Bunuh diri mungkin adalah wujud tingkah laku manusia yang paradoks. Melalui filogenetis dan ontogenetis, manusia telah mengembangkan tingkah laku yang membantu mereka menjalankan fungsi bertahan hidup (Joiner & Rudd, 2002). Pada kasus bunuh diri, manusia secara sadar memusnahkan dirinya sendiri, disinilah letak paradoks itu berada.

Menanggapi sifat paradoks dari fenomena bunuh diri, Freud mencoba merumuskan teorinya mengenai dorongan hidup (drive/ insting). Freud menemukan adanya  repetition compulsion pada diri pasiennya, yaitu ketika seseorang dihadapkan pada situasi tidak menyenangkan namun secara terus menerus tetap memilih untuk berada pada situasi tersebut walaupun hal tersebut menyakiti dirinya. Dari kasus tersebut, Freud menyadari bahwa selain motivasi untuk bertahan hidup (insting kehidupan/ eros), manusia juga memiliki dorongan lain, yaitu dorongan kematian (agresi/ thanatos), yang Freud tekankan lebih kuat dibandingkan dengan insting kehidupan manusia (Heller, 2005). Inilah yang menjelaskan bahwa meskipun bertolak belakang dari fungsi evolusi, manusia tetap memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.

Bunuh diri dalam bahasa Inggris ‘suicide’ berasal dari bahasa Latin ‘sui caedere’ yang berarti membunuh diri sendiri. Percobaan bunuh diri lebih biasa ditemukan diantara perempuan daripada laki-laki, namun tingkat keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Tingkat percobaan bunuh diri banyak diawali pada usia 12 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 16 tahun, yang dengan kata lain dikategorikan sebagai remaja (Nicolson & Ayers, 2004) – walau banyak juga ditemukan di tahap perkembangan lebih lanjut.

Faktor resiko yang menyebabkan seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah depresi, alkohol atau penyalahgunaan obat, tingkah laku agresif, dan pernah mencoba melakukan bunuh diri sebelumnya. Seseorang yang mempertimbangkan untuk bunuh diri biasanya merasa kesepian, tidak memiliki harapan, ditolak. Mereka biasanya mudah jatuh pada perasaan-perasaan diatas ketika mengalami kehilangan, dipermalukan; performa buruk dalam tugasnya; putus dengan pacar; orang tua dengan masalah alkohol atau obat-obatan yang abusive, atau broken home.

“Sebab seseorang melakukan bunuh diri adalah rahasianya dengan Tuhan”..
Faktor diatas merujuk kepada resiko yang biasanya terjadi pada seorang pelaku bunuh diri. Namun alasan jelasnya tidak ada yang pernah tahu – kecuali pelaku menulis surat wasiat sebelumnya. Terkadang sanak keluarga dan kerabat dekat bahkan sangat terkejut atas pilihan dari pelaku untuk mengakhiri hidupnya. Everything looks perfectly fine. Kemudian muncul kekecewaan pada benak yang ditinggalkan ‘seandainya waktu bisa berputar kembali untuk mengubah pikiran yang tercinta melakukan bunuh diri’. Karena kita tidak akan pernah tahu saat seseorang memutuskan untuk bunuh diri pekalah terhadap setiap perubahan dari orang yang kita kasihi. Detik-detik percobaan bunuh diri adalah detik-detik dimana pelaku benar-benar membutuhkan seseorang yang mengasihi dia dan menyadarkan bahwa hidupnya berharga.


Sumber Referensi :
- Heller, Sharon Ph.D. (2005). Freud: A to Z. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
- Joiner, Thomas, David Rudd. (2002). Suicide Science: Expanding the Boundaries. New York: Kluwer Academic Publication.
- Nicolson, Doula, Harry Ayers. (2004). Adolescence Problem (Revised Edition). London: David Fulton Publisher


0 Komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak, Semoga dapat memberi wawasan yang lebih bermanfaat!