Sabtu, 30 Juli 2011

Visum Et Repertum dan Forensik Kedokteran

Arti harfiah dari Visum et Repertum yakni berasal dari kata “visual” yang berarti melihat dan “repertum” yaitu melaporkan.Sehingga jika digabungkan dari arti harafiah ini adalah apa yang dilihat dan diketemukan sehingga Visum et Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, mengenai apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain,kemudian dilakukan pemeriksaan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya (Soeparmono,2002:98). Dalam STBL tahun 1937 No 350 dikatakan bahwa “visa et reperta para dokter yang dibuat baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajarannya di Indonesia.

Dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M04/UM/01.06 tahun 1983 pada pasal 10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut sebagai Visum et Repertum. Pendapat seorang dokter yang dituangkan dalam sebuah Visum et Repertum sangat diperlukan oleh seorang hakim dalam membuat sebuah keputusan dalam sebuah persidangan.Hal ini mengingat, seorang hakim sebagai pemutus perkara pada sebuah persidangan,tidak dibekali dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kedokteran forensik ini.

Dalam hal ini, hasil pemeriksaan dan laporan tertulis ini akan digunakan sebagai petunjuk sebagaimana yang dimaksud pada pasal 184 KUHAP tentang alat bukti. Artinya, hasil Visum et Repertum ini bukan saja sebagai petunjuk dalam hal membuat terang suatu perkara pidana namun juga mendukung proses penuntutan dan pengadilan.

Bentuk Visum et Repertum berdasarkan objek :
1) Visum et Repertum Korban Hidup

• Visum et Repertum
Visum et Repertum diberikan kepada korban setelah diperiksa didapatkan lukanya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau aktivitasnya.

• Visum et Repertum Sementara
Misalnya visum yang dibuat bagi si korban yang sementara masih dirawat di rumah sakit akibat luka-lukanya akibat penganiayaan.

• Visum et Repertum Lanjutan
Misalnya visum bagi si korban yang lukanya tersebut (Visum et Repertum Sementara) kemudian lalu meninggalkan rumah sakit ataupun akibat luka-lukanya tersebut si korban kemudian di pindahkan ke rumah sakit atau dokter lain ataupun meninggal dunia.

2) Visum et Repertum pada mayat
Visum pada mayat dibuat berdasarkan otopsi lengkap atau dengan kata lain berdasarkan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada mayat.
3) Visum et Repertum Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
4) Visum et Repertum Penggalian Mayat
5) Visum et Repertum Mengenai Umur
6) Visum et Repertum Psikiatrik
7) Visum et Repertum Mengenai Barang Bukti

Misalnya berupa jaringan tubuh manusia, bercak darah, sperma dan sebagainya.
(Peranan Dokter dalam Pembuktian Tindak Pidana,2008 : 51)

1. Dasar Hukum
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. 

Menurut Budiyanto dkk (Ilmu Kedokteran Forensik,1997) , dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut :

Pasal 133 KUHAP menyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Selanjutnya,keberadaan Visum et Repertum tidak hanya diperuntukkan kepada seorang korban (baik korban hidup maupun tidak hidup) semata, akan tetapi untuk kepentingan penyidikan juga dapat dilakukan terhadap seorang tersangka sekalipun seperti VR Psikiatris. 

Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan dalam KUHAP yaitu :

Pasal 120 (1) KUHAP
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

Apabila pelaku perbuatan pidana tidak dapat bertanggung jawab, maka pelaku dapat dikenai pidana. Sebagai perkecualian dapat dibaca dalam Pasal 44 KUHP sebagai berikut:

1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.

2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

3. Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Dalam menentukan adanya jiwa yang cacat dalam tumbuhnya dan jiwa yang terganggu karena penyakit, sangat dibutuhkan kerjasama antar pihak yang terkait, yaitu ahli dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan jiwa), yang dalam persidangan nanti muncul dalam bentuk Visum et Repertum Psychiatricum, digunakan untuk dapat mengungkapkan keadaan pelaku perbuatan (tersangka) sebagai alat bukti surat yang dapat dipertanggungjawabkan.

Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7 (1) butir h dan pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6 (1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. 

Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena Visum et Repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum , karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP). Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanki pidana :

Pasal 216 KUHP :
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

1. Peran dan Fungsi
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. 

Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia. 

Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180 KUHAP.

Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit tentang tata laksana pengadaan visum et repertum.

Struktur dan Isi
Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:
a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa
b. Bernomor dan bertanggal
c. Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)
d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan pemeriksaan
f. Tidak menggunakan istilah asing
g. Ditandatangani dan diberi nama jelas
h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut
i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum masing-masing asli
k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun






0 Komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak, Semoga dapat memberi wawasan yang lebih bermanfaat!