Kamis, 02 Desember 2010

Gangguan Jiwa Pada Geriatri


A.      PENGERTIAN
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari masalah kesehatan pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia. Sementara Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran jiwa yang mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia.
Psikokiatrik geriatri adalah cabang kedokteran yang memperhatikan pencegahan, diagnosis & therapi, gangguan fisik & psikologis pada lanjut usia dengan menaikkan umur panjang. Diagnosis dan therapi gangguan mental lanjut usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam manifestasi klinis, patogenesis & patofisiologis gangguan mental dewasa muda dan lanjut usia.
Gangguan jiwa psikotik adalah semua kondisi yang memberi indikasi terdapatnya hendaya berat dalam kemampuan daya nilai realitas, sehingga terjadi salah menilai persepsi dan pikirannya, dan salah dalam menyimpulkan dunia luar, kemudian diikuti dengan adanya waham, halusinasi, atau perilaku yang kacau. Sedangkan, gangguan jiwa neurotik adalah gangguan jiwa non psikotik yang kronis dan rekuren, yang ditandai terutama oleh kecemasan, yang dialami atau dipersepsikan secara langsung, atau diubah melalui mekanisme pertahanan/pembelaan menjadi sebuah gejala, seperti : obsesi, kompulsi, fobia, disfungsi seksual, dll. (Abidin :htpp://abidinblog.blogspot.com).
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1.      Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik        yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
2.      Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan  berbagai gangguan fisik seperti :
·         Gangguan jantung
·         Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
·         Vaginitis
·         Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
·         Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang
·         Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer, serta
·         Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
-Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
-Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya
-Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya
-Pasangan hidup telah meninggal
Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
3.      Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
·         Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
·         Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
·         Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
·         Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
·         Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
4.      Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
5.      Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia.

B.      DATA-DATA TENTANG GANGGUAN JIWA
Kesehatan adalah sesuatu yang berharga bagi seluruh makhluk hidup di dunia karena tanpa kesehatan, mereka tidak akan dapat menjalani kegiatan hidupnya dengan optimal. Menurut undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 yang dimaksud dengan “kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis”. Atas dasar definisi Kesehatan tersebut di atas, maka manusia selalu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik), dari unsur "badan"(organobiologik), "jiwa" (psiko-edukatif) dan “sosial” (sosio-kultural), yang tidak dititik beratkan pada “penyakit” tetapi pada kualitas hidup yang terdiri dan "kesejahteraan" dan “produktivitas sosial ekonomi”. Dalam definisi tersebut juga tersirat bahwa "Kesehatan Jiwa" merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari "Kesehatan" dan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. Sedangkan menurut undang-undang No 3 Tahun 1966 yang dimaksud dengan "Kesehatan Jiwa" adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai unsur kesehatan, yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa "kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain". Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) danmemperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain. Dengan kata lain kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu secara optimal, dan yang selaras dengan perkembangan orang lain. Terjadinya gangguan atau ketidakseimbangan terhadap kesehatan jiwa sering disebut sebagai gangguan jiwa. Gangguan jiwa atau penyakit jiwa sering diidentikan dengan “gila: oleh masyarakat awam. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas mengenai persepsi masyarakat awam yang salah mengenai gangguan jiwa yang sering disamakan dengan penyakit gila.
Secara umum, gangguan jiwa dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar meliputi:
1. Psikotik – Organik (misal Delirium, Dementia, dll)
2. Psikotik – Organik (misal Delirium, Dementia, dll)
3. Non Psikotik atau neurotic (misal Gg. Cemas, Gg. Somatoform, Gg. Psikoseksual, Gg. Kepribadian, dll)
Berikut merupakan data-data mengenai gangguan kesehatan yang terkait dengan gangguan jiwa yang diperoleh dari berbagai sumber:
  1. Satu dari lima penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa dan mental. Artinya 264 per 1000 anggota rumah tangga di Indonesia menderita gagguan jiwa mulai yang ringan hingga yang berat,” kata Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Akibatnya pemerintah harus menyediakan obat dan konsultasi bagi penderitanya di Puskesmas. Prevalensi 100 per 1000 anggota rumah tangga adalah prevalensi yang cukup tinggi sehingga merupakan masalah kesehatan yang cukup serius.
  2. Angka gangguan kesehatan jiwa di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Menurut Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial dalam setiap rumah tangga paling tidak ada satu orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa dan membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa. Ini berdasarkan hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) yang dilakukan pada penduduk di 11 kotamadya oleh Jaringan Epidemiologi Psikiatri Indonesia tahun 1995 di mana ditemukan 185 per 1000 penduduk rumah tangga dewasa menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa.
  3. Krisis ekonomi yang tak kunjung usai di Indonesia ternyata meninggalkan kisah sedih, yaitu meningkatnya jumlah penderita gangguan jiwa, terutama jenis anxietas (gangguan kecemasan) dan baru 8% yang mendapatkan pengobatan memadai. Masalah gangguan jiwa ini ternyata terjadi di hampir seluruh negara di dunia. “Saat ini sekitar 400 juta orang, sehingga WHO memandang perlu mengangkat masalah gangguan jiwa sebagai tema peringatan Hari Kesehatan Sedunia kali ini,” kata Menkes dan Kesos. Ada 5 jenis gangguan jiwa yang diangkat sebagai isu global WHO yaitu: skizofrenia, alzheimer, epilepsi, keterbelakangan mental dan ketergantungan alkohol.
  4. Masalah kesehatan jiwa bukan soal sepele, diperkirakan satu dari empat orang Indonesia menderita gangguan jiwa. Itu sebabnya sekarang ada paradigma baru, menggeser pengobatan gangguan jiwa dari basis rumah sakit ke basis komunitas atau basis rawat inap menjadi rawat jalan, demikian diungkapkan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Prof. Dr. Azrul Azwar, MPH. Dengan pergeseran paradigma dari basis rumah sakit ke basis komunitas, masyarakat diberdayakan untuk ikut mengobati penderita gangguan jiwa. Pelayanan kesehatan jiwa juga bukan hanya berada di rumah-rumah sakit namun disediakan pula di Puskesmas.
  5. Di Indonesia jumlah penderita penyakit jiwa berat sudah memprihatinkan, yaitu 6 juta orang atau sekitar 2,5 % dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut ternyata hanya 8,3% penderita yang bersedia berobat, sebagian besar lainnya enggan dan sebagian besar lainnya lagi tidak punya biaya. Sayangnya, pemerintah justru seolah tidak menaruh perhatian pada penyakit ini. Pemerintah seolah lepas tangan terhadap para penderita penyakit ini.
  6. Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial mengakui Depkes dan Kesos masih memfokuskan program pada kesehatan fisik, sedangkan kesehatan jiwa terabaikan. Padahal Indonesia sedang berupaya memperbaiki kondisi sumber daya manusia agar mutunya dapat ditingkatkan. Tenaga kesehatan selama ini lebih memberi perhatian pada persalinan yang aman, pencegahan tetanus, imunisasi, program ibu menyusui, pemberian gizi yang seimbang, dan sebagainya. Dengan program seperti ini diharapkan bayi akan mampu hidup dan sehat, sementara perkembangan psikososialnya bisa terbentuk secara alamiah.
  7. Jumlah dokter spesialis saraf Jawa Barat masih sangat minim. Saat ini seorang dokter spesialis saraf harus melayani sekitar 1,2 juta orang. Padahal idealnya harus berrasio 1 berbanding 100.000 orang, demikian dikatakan dr. H. Thamrin Sjamsudin SpSK, Ketua Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Dikatakan Jawa Barat sekarang hanya memiliki 36 dokter spesialis saraf. Dari jumlah tersebut sekitar 35% berdomisili di Bandung. Jika penduduk Jabar sebanyak 42 juta orang, maka satu dokter spesialis saraf di perkotaan melayani 1,2 juta orang. Sedangkan satu dokter spesialis di kabupaten melayani 3 juta orang. Sementara Indonesia mempunyai target satu dokter spesialis saraf dapat melayani 500 orang.
  8. Penderita gangguan jiwa ditengarai meningkat. Di Rumah Sakit Jiwa Malang jumlah pasien meningkat 6% tiap tahun, dari peringkat kesebelas ke urutan kedua. Angka yang cenderung meninggi ini dipresentasikan dr. Gregorius Pandu Setiawan, Direktur Rumah Sakit Jiwa Lawang dalam Konferensi Nasional Kesehatan Jiwa. Survei tentang penderita gangguan jiwa tercatat 44,6 per 1.000 penduduk di Indonesia menderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Angka rasio ini melebihi batas yang ditetapkan WHO, yang cuma 1 – 3 per mil penduduk. Padahal, data tahun 1980-an, penderita skizofrenia di Indonesia hanya 1 – 2 tiap 1.000 penduduk.
  9. Sebanyak 0,1% dari 16 juta jiwa penduduk Jabotabek mengidap penyakit gangguan mental dan geriatrik, sedangkan korban narkoba mencapai 16.000 orang. Hal itu diungkap dr. Yul Iskandar, PhD, salah seorang pengurus Yayasan Dharma Graha yang menangani penanggulangan Gangguan Mental, Geriatrik dan Narkoba. Dalam hal ini dibutuhkan rumah sakit terpadu yang tidak hanya melayani gangguan mental dan geriatrik saja tetapi juga korban narkoba.


JUMLAH GANGGUAN JIWA PADA GERIATRIK

A.      DATA TENTANG GERIATRI YANG TERKENA GANGGUAN JIWA DI DUNIA
Masalah gangguan jiwa yang menyebabkan menurunnya kesehatan mental ini ternyata terjadi hampir di seluruh negara di dunia. WHO (World Health Organization) badan dunia PBB yang menangani masalah kesehatan dunia, memandang serius masalah kesehatan mental dengan menjadikan isu global WHO. WHO mengangkat beberapa jenis gangguan jiwa seperti Schizoprenia, Alzheimer, epilepsy, keterbelakangan mental dan ketergantungan alkohol sebagai isu yang perlu mendapatkan perhatian. “WHO memperkirakan tidak kurang dari 450 juta penderita gangguan jiwa ditemukan di dunia. Bahkan berdasarkan data studi World Bank di beberapa negara menunjukkan 8,1% dari kesehatan global masyarakat (Global Burden Disease) disebabkan oleh masalah gangguan kesehatan jiwa yang menunjukkan dampak lebih besar dari TBC (7,2%), kanker (5,8%, jantung (4,4%, dan malaria (2,6%), ”katanya.  Besaran ini kata Azrul, menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan masyarakat yang demikian tinggi dibandingkan dengan masalah kesehatan lain yang ada di masyarakat. Karena itu penyelesaian masalah gangguan kesehatan jiwa ini tidak dapat hanya diselesaikan oleh profesi kedokteran jiwa saja, tetapi juga harus melibatkan semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, dan kelompok lain yang ada di masyarakat.
Peningkatan Di Asia: Sementara itu Eksekutif Regional WHO Dr Vijjay Chandra mengatakan, berdasarkan hasilpenelitian yang dilakukan terhadap masyarakat di negara-negara Asia Timur menunjukkan adanya peningkatan jumlah pasien dengan kelainan psikiatri syaraf. Pada waktu bersamaan, kemiskinan dan tidak adanya akses kepada asuransi kesehatan membuat msalah ini makin parah. Tindakan-tindakan yang harus segera diambil secara regional oleh masing-masing negara adalah dengan memberikan prioritas perawatan kepada penderita kelainan syaraf dan mental dengan dukungan masyarakat, serta diperbanyaknya jumlah tenaga psikiatrik dan ahli syaraf. Sedangkan Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) Dr Pandu Setiawan SpKJ, mengatakan di Indonesia dokter sepsialis kesehatan jiwa masih sangat kurang, yaitu hanya sekitar 430 orang dengan jumlah penduduk yang hampi mencapai lebih dari 200 juta jiwa. Untuk mengantisipasinya kami dari PDSKJI berupaya untuk melatih dokter-dokter puskesmas dalam penanggulangan kesehatan jiwa , sehingga merekapun memiliki kemampuan yang baik untuk menangani gangguan kesehatan jiwa yang semakin meningkat jumlahnya.

B.      DATA TENTANG GERIATRI YANG TERKENA GANGGUAN JIWA DI INDONESIA

Di Indonesia jumlah penderita penyakit jiwa berat sudah cukup memprihatinkan, yakni mencapai 6 juta orang atau sekitar 2,5% dari total penduduk. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) pada tahun 1985 yang dilakukan terhadap penduduk di 11 kotamadya oleh Jaringan Epidemiologi Psikiatri Indonesia, ditemukan 185 per 1.000 penduduk rumah tangga dewasa menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa baik yang ringan maupun berat. Dengan analogi lain bahwa satu dari lima penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa dan mental. Sebuah fenomena angka yang sangat mengkhawatirkan bagi sebuah bangsa.

Sebanyak 1,7 juta jiwa populasi orang dewasa Indonesia menderita gangguan mental emosional. Gangguan emosi ini bisa dipicu tayangan-tayangan televisi. "Seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6 persen dari populasi orang dewasa," kata Direktur Kesehatan jiwa Aminullah dalam seminar di Jakarta, Rabu 14 Oktober 2009. Data tersebut merupakan hasil data riset kesehatan dasar tahun 2007. Penelitian Badan Kesehatan Dunia atau WHO itu juga menunjukkan hampir 3/4 beban global penyakit neuropsikiatrik didapati di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. Menurut Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Farid Husein, masalah kesehatan jiwa di Indonesia sejak lama termarjinalkan. "Tayangan TV, media cetak maupun elektronik memberi kecenderungan meningkatnya masalah-masalah yang terkait dengan kesehatan jiwa dan psikososial," kata dia. Masalah yang biasa muncul seperti narkoba, percerian, tawuran antar pelajar dan bunuh diri. Tak hanya itu saja, Albert Maramis dari WHO mengatakan kesehatan jiwa dapat terkait erat dengan keamanan kesehatan. Masalah seperti urbanisasi yang cepat, bencana alam, kekerasan dan konflik mengancam keamanan kesehatan pada tingkat individu, komunitas, nasional dan internasional. "Urbanisasi yang cepat menyebabkan peningkatan penggunaan alkohol dan zat aditif yang berujung pada perilaku kekerasan dan kriminal," jelas Albert. Adapun masalah muncul dalam kedaruratan, penderitaan berat dan disabilitas serta lambat dalam pemulihan dan rekonstruksi.

Berdasarkan Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) yang dilakukan pada penduduk di 11 Kotamadya oleh jaringan Epidemiologi Psikiatri Indonesia ditemukan 185 dari 1000 penduduk menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa. Hal ini berarti, dalam setiap rumah tangga dengan perkiraan penduduk Indonesia 185 juta jiwa paling tidak terdapat satu orang yang mengalami gejala gangguan kesehatan jiwa, dan membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa. Yang lebih memprihatinkan lagi gangguan kesehatan jiwa terbesar dialami oleh usia produktif yaitu 15-50 tahun.  Bukan itu saja, yang labih parah lagi di kota-kota besar diprediksi satu dari empat penduduk Indonesia, terutama yang berada di kota-kota besar mengalami gangguan jiwa, tapi bukan berarti mereka gila. Mereka hanya membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa. kata Prof.Dr Azrul Azwar, Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat (Binkesmas) Departemen Kesehatan, di Jakarta dalam rangka hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober 2001 yang ditandai dengan peluncuran World Health Report 2001.  Sedangkan Dr Rusdi Maslim dari Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes pada 10 kota besar diantaranya Medan, Jambi, Bandar Lampung, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Samarinda, Banjarmasin dan Makasar terhadap 994 responden yang diperoleh secara block sampling dengan menggunakan instrumen diagnostik gangguan jiwa dari WHO menemukan 334 (34,6 persen) responden merupakan kasus gangguan jiwa. Adapun jenis gangguan kesehatan jiwa yang banyak diderita masyarakat Indonesia antara lain psikosis, demensia, retardasi mental, mental emosional usia 4-15 tahun, mental emosional lebih dari 15 tahun dan gangguan kesehatan jiwa lainnya.
Tema sentral yang diambil dalam peringatan Hari Kesehatan Dunia yang tercantum dalam World Health Report 2001, Mental Health, New Understanding, New Hope (kesehatan mental, pengertian baru dan harapan baru). Ditambahkan Azrul, berdasarkan laporan WHO, ada 10 rekomendasi yang dikeluarkan dalam penanganan gangguan kesehatan jiwa, yaitu masalah pelayana kesehatan jiwa dipelayanan dasar, ketersediaan obat psikotropik diberbagai tingkat pelayanan, tersedianya perawatan kesehatan jiwa di masyarakat, dan pendidikan kepada masyarakat.

Selain itu, juga ada keterlibatan peran serta masyarakat, keluarga , dan consumer, kebijakan nasional, pengembangan SDM, jaringan antarsektor, pemantauan kesehatan jiwa masayarakat dan dukungan terhadap penelitian-penelitian.  Saat ini upaya yang sudah dilakukan pemerintah dalam penanganan masalah kesehatan jiwa adalah dengan menyiapkan pelayanan kesehatan jiwa pada pelayanan kesehatan dasar masyarakat (Puskesmas) sehingga mereka yang menderita gangguan jiwa untuk tahapan ringan tidak perlu ke rumah sakit jiwa, tapi cukup ditangani dokter puskesmas.



Created By Zen
Amparita, 02 Desember 2010
19.35 WITA

0 Komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak, Semoga dapat memberi wawasan yang lebih bermanfaat!